About Me

My photo
"MEMBACA DAPAT MENINGKATKAN DERAJAT BANGSA, DERAJAT suatu bangsa bisa TERPURUK karena penguasaan ilmu pengetahuan yang rendah, untuk itu bacalah bacaan yang baik sebagai jendela ILMU PENGETAHUAN"
Powered by Blogger.
RSS

Kesenian Indonesia Masa Paleolitikum


1.  Pendahuluan
Salah satu ciri manusia modern adalah selalu ingin tahu alasan dibalik semua realitas dunia. Cepat atau lambat dalam benak manusia akan terbesit pertanyaan. Kapan awal dunia ini?, siapakah manusia pertama yang lahir ke dunia?, apakah variasi ras dari berbagai dunia bersumber dari nenek moyang yang sama?, bagaimana mereka bisa mempunyai kebudayaan yang berbeda? dan segudang pertanyaan lain yang cukup membuat otak mengkerut. Pada karya tulis ini akan diulas mengenai zaman batu awal yang disebut paleolitikum. Latar belakang dari masa ini sedikit mengulas siapa nenek moyang kita menurut penganut teori evolusi. Sebetulnya asal-usul manusia telah dijelaskan oleh agama dan banyak suku di dunia. Cerita tentang manusia pertama dan peninggalannya dianggap sebagai cerita karangan atau mitis belaka oleh kaum materialis. Dalam kajian seni rupa prasejarah kita tidak boleh melupakan bukti otentik dari artefak. Dari artefak ini kita bisa menafsirkan banyak hal sesuai ciri fisiknya.
Catatan yang saya buat ini hanya akan berfokus pada masa prasejarah, khususnya zaman paleolitikum. Karena karya ini merupakan kajian kebudayaan, maka pembagian masa dalam sejarah bumi ini menggunakan dasar arkeologi. Arkeologi merupakan ilmu yang mempelajari hasil-hasil kebendaan dari kebudayaan-kebudayaan yang sudah silam. Berdasarkan hasil peninggalan kebudayaan manusia yang telah ditemukan, para ahli membagi peninggalan prasejarah itu menjadi zaman batu dan logam. Kebudayaan manusia pada zaman batu ini dapat kita bagi ke dalam empat golongan yaitu, paleolitikum, mesolitikum, neolitikum, dan megalitikum.
Paleolitikum sendiri adalah konsen karya tulis ini sebagai salah satu bahan diskusi mata kuliah Kajian Seni Rupa Nusantara. Mudah-mudahan karya ini mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang beredar mengenai latar belakang pertumbuhan, masyarakat, dan produk yang dihasilkan masyarakat paleolitikum.
2.  Paleolitikum
Paleolitikum merupakan jaman batu tua yang terjadi selama berlangsungnya masa plestosen atau diluvium, kira-kira 600.000 tahun. Pada masa plestosen, permukaan bumi dipenuhi oleh es. Iklim yang dingin pada masa ini disebut juga masa glasial. Manusia harus berpindah-pindah ke tempat yang iklimnya lebih cocok bagi mereka atau menyesuaikan diri dengan alam. Bagi mereka yang tidak mampu bertahan tentu saja akan punah. Perpindahan dari tempat ke tempat yang lain pada masa itu dimungkinkan karena es menyusutkan permukaan laut antara 100-150 m dari permukaan semula. Daratan yang tercipta dari laut dangkal ini kemudian menjadi jembatan bagi manusia untuk berpindah tempat dalam usaha mereka mencari makan dan menghindari bencana. Setelah zaman paleolitikum ini berakhir maka seluruh periode zaman batu terjadi pada zaman geologi holosen atau alluvium.








Gambar 1
Australopitesin Africanus
Sumber: Manusia Purba

Proses penyesuaian diri terhadap alam ini dianggap sebagai dasar mengapa manusia berevolusi. Karya tulis ini tidak akan berusaha menjawab kapan manusia pertama ada dan dimana tempatnya. Teori-teori tentang ini belum sepenuhnya valid dan perlu dipertanyakan kembali kebenarannya. Dalam video yang dikeluarkan BBC (2004) berjudul Walking With Cavemen, ilmuwan barat menyatakan bahwa manusia pertama terdapat di Afrika. Manusia pada kala itu harus berpisah ke dalam dua golongan arah. Golongan manusia purba yang memilih utara sebagai tempat hidup mereka dianggap lebih sukses menyesuaikan hidup dan menjadi cikal bakal nenek moyang orang Eropa. Sedangkan bagi golongan yang memilih selatan sebagai tempat bertahan mereka, dianggap cukup sukses menyesuaikan diri dengan alam, dan menjadi cikal bakal nenek moyang orang Afrika. Dari Afrika inilah nenek moyang kita berasal.
Prof. Arysio Santos (2009) dalam Atlantis The Lost Continent Finally Found menyatakan bahwa sebenarnya pada jaman plestosen telah terdapat peradaban maju yang disebut Atlantis. Karena badai dan banjir besar, maka kekaisaran dunia itu lenyap sehingga manusia memulai peradaban barunya kembali dengan alat-alat primitif. Ia juga membantah adanya teori evolusi, dan berkeyakinan bahwa manusia hanya berdampingan dengan homo sapiens jenis manapun. Yang paling menarik adalah teori dia yang menyatakan bahwa Atlantis berada di Indonesia. Teori ini dikemukakan berdasar letak geografis Indonesia yang dilalui tiga lempeng bumi dan terdapat banyak gunung vulkanis sebagai ciri peradaban subur seperti yang dikisahkan Plato.
Perbedaan ini belum seberapa, belum lagi jika kita bandingkan dengan keprcayaan tiap agama dan suku-suku di dunia. Setidaknya ada penjelasan jalan menengah dalam pemahaman islam. Pada ayat 30 dalam surat Al-baqarah dinyatakan bahwa Tuhan hendak menciptakan manusia di muka bumi. Kemudian malaikat mengherankan tindakkan Tuhan dan berkata bahwa bukankah manusia congkak dan akan berbuat kerusakan di muka bumi. Tuhan pun menjawab, Aku lebih tahu daripada kau dan akan ku ciptakan manusia sebagi pemimpin dan mahkluk yang sempurna. Dari data ini beberapa ahli tafsir hadist menyimpulkan bahwa sebelum diciptakan manusia versi kita sekarang, Tuhan telah menciptakan manusia dengan jenis berbeda.
Mari kita lebih berfokus pada penemuan artefak manusia purba zaman paleolitikum di Indonesia. Telah disinggung sebelumnya bahwa zaman paleolitikum berlangsung selama masa plestosen. Penemuan-penemuan manusia pada lapisan tanah plestosen ini terdapat di berbagai belahan dunia. Di Indonesia sendiri, penemuan tersebut baru ditemukan di pulau Jawa saja. Penemuan artefak di Indonesia mempunyai arti penting bagi dunia. Fosil yang ditemukan ternyata berasal dari segala zaman plestosen.
 






Gambar 2
Sketsa wajah berdasar tengkorak dari Trinil
Sumber: Lukisan Sejarah

Penemuan pertama yang menjadi awal penyelidikan selanjutnya adalah temuan Pithecanthropus Erectus pada tahun 1890 oleh E. Dubois di dekat Trinil Solo. Karena tengkorak diperkirakan memiliki kemiripan dengan kera (phitekos) dan manusia (anthropos), namun mampu berjalan dengan tegak (erectus), maka dinamailah Pithecanthropus Erectus atau manusia kera yang berjalan tegak.
Pada tahun 1936 Von Koenigswald mendapatkan sebuah fosil tengkorak anak-anak di dekat Mojokerto. Dari giginya diperkirakan fosil ini berumur 5 tahun, dan Koenigswald menduga tengkorak ini berasal dari anak Pithecanthropus yang ia beri nama Homo Mojokertensis. Selain ditemukannya fosil tengkorak manusia purba, Koenigswald juga menemukan beberapa fosil hewan menyusui. Atas penemuan ini kemudian ia membagi lapisan tanah Indonesia ke dalam tiga bagian: paling bawah ialah lapisan jetis (plestosen bawah), lapisan Trinil (plestosen tengah), dan paling atas ialah lapisan Ngandong (plestosen atas).
Penemuan fosil pertama di Trinil bernama Pithecanthropus Erectus. Pithecanthropus Trinil ini terdapat di plestosen tengah, namun ada juga yang terdapat di plestosen bawah. Karena Pithecanthropus pada plestosen bawah ini lebih kuat dan tubuhnya besar maka dinamai Pithecanthropus Robustus. Fosil yang ditemukan di Mojokerto pun berubah nama menjadi Pithecanthropus Mojokertensis karena letaknya di plestosen bawah.
 







Gambar 3
Suasana penggalian artefak di Jawa
Sumber: Indonesian Heritage

Tahun 1941 Von Koenigswald menemukan sebagian dari tulang rahang bawah yang jauh lebih kuat dan besar dari Pithecanthropus. Geraham ini menunjukkan corak-corak kemanusiaan namun lebih banyak sifat-sifat kera, dagunya tidak ada. Karena mahkluk plestosen bawah itu dianggap lebih tua dan besar, maka dinamailah Meganthropus Palaeojavanicus.
Ngandong pada tahun 1931-1934 ditemukanlah fosil tengkorak yang menunjukkan bahwa mahkluk ini memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari Pithecanthropus Erectus. Ia sudah dianggap menjadi manusia, karenanya nama yang diberikan ialah Homo Soloensis yang berarti manusia dari solo.







Gambar 4
Peta penggalian artefak di Jawa
Sumber: Indonesian Heritage

E. Dubois pernah menemukan fosil tengkorak di daerah Wajak Kediri pada tahun 1889. Penemuan itu kembali diperbaharui dan diteliti sehingga ditemukan kesimpulan bahwa Homo Wajakensis ini termasuk dalam golongan Australoide, yang bernenek moyang Homo Wajakensis dan nantinya menurunkan langsung bangsa-bangsa asli di Australia.
Koenigswald menyatakan bahwa Homo Wajakensis sama seperti Homo Soloensis yang berasal dari lapisan bumi plestosen atas dan dapat digolongkan menjadi Homo Sapiens. Mahkluk ini sudah menunjukkan tingkat kecerdasan dengan fakta ditemukannya ciri-ciri kuburan sewaktu ia ditemukan.
Mengubur berarti merawat mayat, hal ini merupakan tanda yang membedakan manusia dengan binatang, dan kesadaran terhadap hal diluar perhitungan manusia yaitu mati. Namun karena tidak terdapatnya bukti yang kuat, sampai sekarang tidak bisa disimpulkan bagaimanakah bentuk kebudayaan rohaniah Homo Wajakensis.
Soekmono (1973) dalam Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1, menyatakan bahwa hasil kebudayaan tertua di Indonesia ialah yang ditemukan disekitar daerah Pacitan dan Ngandong.

2.1. Kebudayaan Pacitan
Pada tahun 1935 Von Koenigswald menemukan sejumlah alat-alat batu di daerah Pacitan. Alat tersebut dinamakan kapak genggam atau kapak perimbas, yang merupakan alat serupa kapak tetapi tidak bertangkai karena penggunaannya untuk digenggam. Kapak genggam dibuat dengan teknik yang masih kasar dan tidak berkembang dalam kurun waktu yang lama, kira-kira dari tingkat akhir plestosen tengah sampai permulaan holosen.







Gambar 5
Perkakas batu yang ditemukan di Pacitan
Sumber: Lukisan Sejarah

Movius dalam Sejarah Nasional Indonesia hal 86, menggolongkan perkakas-perkakas batu yang ia teliti ke dalam beberapa jenis utama dengan ciri-ciri tertentu. Jenis-jenis ini disebut kapak perimbas (chopper), kapak perimbas dengan bentuk yang lebih kecil disebut serut genggam (scraper), kapak penetak (chopping tool), pahat genggam (hand adze) dan kapak genggam.
Perkakas-perkakas zaman peleolitikum ini disiapkan dengan teknik pemotongan sederhana secara langsung dari batu-batu kerakal, atau pecahan batu yang diperoleh dari saling membenturkan batu besar. Ciri-ciri alat batu dari hasil penggolongan Movius dapat kita ketahui sebagai berikut:
1.      Kapak perimbas: Bagian tajamnya yang berbentuk konveks (cembung) atau kadang-kadang lurus. Bentuk lurus ini diperoleh dari patahan pada salah satu sisi pinggiran batu, dan kulit batu masih melekat pada sebagian besar permukaan batu.
2.      Kapak penetak: Benda ini berawal dari sebongkah batu yang bagian tajamnya dibentuk liku-liku melalui penyerpihan yang dilakukan selang-seling pada dua sisi pinggirannya.
3.      Pahat genggam: Fisik alat ini mirip dengan bujur sangkar atau persegi panjang. Bagian tajamnya dibuat melalui penyerpihan terjal pada permukaan atas menuju ke pinggiran batu.
4.      Kapak genggam awal: Bagian tajamnya diperoleh dari pemotongan yang dilakukan pada satu permukaan batu. Bentuk perkakas ini meruncing dan kulit batu (cortex) masih melekat pada pangkal alatnya sebagai tempat genggaman.
Perlu diketahui, istilah-istilah yang digunakan pada perkakas di atas, tidak dimaksudkan kepada fungsi perkakas tersebut. Penamaan ini dimaksudkan untuk mempermudah penggolongan dan deskripsi alat-alat batu.
2.1.a. Cara Pemakaian Perkakas
Berikut adalah beberapa cara menggunakan alat batu menurut Clark Howell dalam buku yang berjudul Manusia Purba.
1.         Alat Perimbas, benda ini biasanya terbuat dari sekepal batu dan berfungsi sebagai pemecah tulang, senjata, atau perimbas kayu.
2.         Kapak Genggam, alat ini memiliki ujung-ujung yang lebih halus. Benda yang digunakan untuk menguliti dan memotong hewan buruan ini terdapat dalam berbagai ukuran.
3.         Alat Serut Samping, berfungsi sebagai pengolah kulit. Pinggiran serpihnya kuat dan diasah halus.







Gambar 6
Penggunaan kapak perimbas
Sumber: Manusia Purba






Gambar 7
Penggunaan kapak genggam dan alat serut samping
Sumber: Manusia Purba

4.         Gurdi, merupakan kepingan batu yang dihaluskan. Diduga fungsinya untuk melubangi kulit binatang, dan mungkin ini adalah bukti usaha manusia pertama untuk membuat pakaian.
5.         Gurdi Kecil, adalah alat dengan berbagai macam ukuran dan mampu menghasilkan goresan dua alur yang sejajar.
6.         Batu Polihedral, dengan permukaannya yang terpecah-pecah berfungsi sebagai pemecah tulang atau peluru lempar untuk membunuh binatang (musuh).
7.         Kapak Genggam Primitif, perkakas ini mirip beliung, kedua permukaannya agak kasar, berujung cukup runcing, dan digunakan untuk menggali akar dan umbi yang dijadikan bahan makanan.






Gambar 8
Penggunaan gurdi dan gurdi kecil
Sumber: Manusia Purba





Gambar 9
Penggunaan batu polihedral dan kapak genggam primitif
Sumber: Manusia Purba

8.         Alat Runcing Levallois, dengan pinggirannya yang tajam dan permukaan yang diolah hingga pantas untuk menjadi mata tombak, berfungsi untuk menusuk namun tidak untuk dilempar.
9.         Batu Bergerigi, diduga alat ini berfungsi sebagai pembentuk pada kayu, seperti serutan.
10.     Serpihan Berpunggung Tumpul, ukurannya seperti pisau saku yang berfungsi sebagai alat potong serba guna. Benda ini terbuat dari serpihan batu inti, sehingga mudah memotong daging.
11.     Batu Runcing Gravette, alat ini hanya ditemukan pada situs Cro-Magnon tertentu. Dilihat dari ciri fisiknya, mungkin alat ini dipasang pada lembing.







Gambar 10
Penggunaan alat runcing levallois dan batu bergerigi
Sumber: Manusia Purba






Gambar 11
Penggunaan serpihan berpunggung tumpul dan batu runcing gravette
Sumber: Manusia Purba




Gambar 12
Cara membuat serpihan dan alat runcing levallois
Sumber: Manusia Purba





Gambar 13
Teknik bilah inti
Sumber: Manusia Purba





Gambar 14
Pembuatan gurdi kecil dari bilah
Sumber: Manusia Purba




Gambar 15
Teknik tongkat dan penyerpihan dengan tekanan
Sumber: Manusia Purba


1.2. Kebudayaan Ngandong  
            Ngandong di sekitar daerah temuan Phitecanthropus Soloensis di undak-undak Bengawan Solo pada ketinggian kurang lebih 20 m di atas permukaan sungai, telah ditemukan perkakas manusia yang dibuat dari tulang. Dienst van den Mijnbouw telah melakukan penelitian ini pada tahun 1932-1933. Diantara benda itu ada yang terbuat dari tulang, batu-batu bundar, dan tanduk binantang, dan menjadi semacam alat penusuk. Diduga fungsi dari alat ini adalah untuk menggali ubi atau makanan dari dalam tanah. Terdapat pula alat yang mirip ujung tombak dengan gigi pada sisinya seperti garpu, kemungkinan dipergunakan untuk menangkap ikan. Batu-batu bulat yang ikut ditemukan di Ngandong ini diduga berfungsi sebagai batu pelempar yang dikaitkan pada tali untuk menjerat binatang buruan.






Gambar 16
Perkakas dari Ngandong dan Watuhalang
Sumber: Lukisan Sejarah

            Alat serpih yang telah ditemukan tersebut diduga berasal dari plestosen atas. Maka disimpulkan bahwa perkakas itu merupakan hasil kebudayaan Homo Soloensis dan Homo Wajakensis. Dari ciri-ciri fisiknya, alat-alat tersebut berfungsi sebagai alat berburu, menangkap ikan, dan mengumpulkan buah atau umbi-umbian. Atas dasar tersebut, maka diperolehlah kesimpulan bahwa manusia pada masa paleolitikum ini berburu mengandalkan alam sebagai sumber makanan (foodgathering) dan berpindah-pindah tempat (nomanden), sebab alat peninggalannya tidak dapat digunakan untuk bercocok tanam.
1.3. Kesenian
            Pada zaman paleolitikum ini kita bisa temukan ukiran-ukiran tulang dan lukisan gua yang sangat indah. Di eropa selatan terdapat banyak sekali arca-arca, lukisan gua dengan gambar binatang. Ini menunjukkan bahwa cita rasa seni dan keindahan telah ada pada manusia pertama di zaman akhir plestosen itu.
            Di Indonesia sendiri tanda-tanda kuat bahwa kesenian zaman plestosen telah hadir belum didapat. Pada tahun 1950 Ny. Heeren-Palm menemukan gambar-gambar telapak tangan berwarna merah di gua Leang-leang Sulawesi Selatan. Kemudian H.R. van Heekeren melanjutkan penyelidikan disekitar gua tersebut, dan menemukan gambar berwarna dari seekor babi hutan. Ini merupakan gambar pertama yang ditemukan di negeri kita. Pada masa berikutnya ditemukanlah gambar-gambar tangan yang lain di dua buah gua yang tidak jauh dari gua Leang-leang tersebut.
          Pada awalnya, gambar babi hutan ini diperkirakan berasal pada zaman akhir paleolitikum seperti yang terjadi di Eropa. Setelah diteliti dengan seksama rupanya peninggalan ini berasal dari zaman mesolotikum.






Gambar 17
Lukisan tangan dari gua Leang-leang
Sumber: Indonesian Heritage
           
          Menurut Clark Howell, manusia purba di Eropa telah memiliki cita rasa seni dimulai pada paleolitikum atas. Lukisan-lukisan batu yang mereka tinggalkan dibuat dengan cermat, teliti, dan dapat disimpulkan bahwa ini adalah hasil karya seniman berpengalaman. Gaya penggambaran pada masa ini tidak banyak berubah, namun menggunakan teknik yang berbeda-beda.  Medianya bisa pada dinding gua atau tulang, catnya menggunakan bahan alam, dengan kuas dahan remuk, bulu, atau rambut.






Gambar 18
Lukisan gua di Eropa
Sumber: Manusia Purba

            Lukisan pada dinding gua di Eropa ini ada yang hanya sketsa, dan ada juga yang terdapat isi pada bidang sketsanya. Manusia purba pada masa ini juga mengenal gambar bayangan dengan mencuci tinta berlebih pada dinding, dan menambahkan campuran warna lain yang mereka kehendaki.
            Ukiran pada zaman ini juga berisi mahkluk-mahkluk yang tidak jauh berbeda, yaitu binatang buruan. Mereka mengukir pada tulang dengan gurdi, sehingga dihasilkan goresan-goresan kuat dan halus. Beberapa karya pahat yang ditemukan telah ada yang berbentuk binatang, dan terbuat dari gading, tulang, atau tanduk.






Gambar 19
Ukiran pada dinding gua di Eropa
Sumber: Manusia Purba


Daftar Pustaka

HOWEL, Clark. (terjemahan S. Timan). 1980. Manusia Purba. Jakarta: Tira Pustaka.

MIKSIC, John (editor). 1996. INDONESIAN HERITAGE Vol. Ancient History. Singapura: Grolier International, Inc.

POESPONEGORO, Marwati Djoened. 1993. Sejarah Nasional Indonesia 1. Jakarta: Balai Pustaka. ISBN: 979-407-407-1

SANTOS, Arysio. 2009. Atlantis The Lost Continent Finally Found. Jakarta: Ufuk Press. ISBN: 978-602-8224-62-8

SOEKMONO. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1. Yogyakarta: Kanisius.

YAMIN, Muhammad. 1990. Lukisan Sejarah. Jakarta: Ghalia.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment