About Me

My photo
"MEMBACA DAPAT MENINGKATKAN DERAJAT BANGSA, DERAJAT suatu bangsa bisa TERPURUK karena penguasaan ilmu pengetahuan yang rendah, untuk itu bacalah bacaan yang baik sebagai jendela ILMU PENGETAHUAN"
Powered by Blogger.
RSS

KESENIAN INDONESIA ZAMAN PERUNGGU


BAB I
KESENIAN ZAMAN PERUNGGU

A.    Latar Belakang Pertumbuhan dan Pengaruh
Berkembangnya ide dan pemikiran manusia pada zaman prasejarah, tidak berarti bahwa budaya atau tradisi yang telah berlalu hilang begitu saja di zaman selanjutnya. Pada saat memasuki zaman logam, kebudayaan zaman batu masih ada dan terus berkembang meski didominasi oleh budaya logam.
Zaman logam di Eropa terdiri dari tiga fase/bagian, yaitu zaman tembaga, perunggu, dan besi; namun, di Indonesia yang paling berkembang yaitu zaman perunggu, sehingga zaman ini biasa disebut dengan zaman perunggu.
Perkembangan budaya perunggu di Indonesia tidak semata-mata tumbuh dan muncul begitu saja tanpa adanya pengaruh dari luar. Pengaruh dominan yang paling berperan adalah dari kebudayaan perunggu Dongson, yaitu berdasarkan penelitian pertama di daerah Tonkin, dan merupakan pusat dari kebudayaan perunggu di Asia Tenggara. Di sana ditemukan berbagai macam alat dari perunggu seperti nekara dan bejana, alat-alat besi, dan kuburan-kuburan zaman itu. Bejana yang ditemukan serupa dengan yang ditemukan di Kerinci dan Madura, serta hiasan pada nekara juga menunjukkan adanya hubungan erat antara Indonesia dengan daratan Asia, sehingga dapat dikatakan bahwa kebudayaan logam di Indonesia merupakan satu golongan dengan kebudayaan logam Asia yang berpusat di Dongson tersebut.
Masyarakat Dongson dikenal sebagai masyarakat petani yang hasil pertaniannya berupa padi. Mereka juga beternak kerbau dan babi. Kerbau mungkin dipakai sebagai hewan untuk membantu petani membajak padi. Rumah tinggal mereka berupa rumah yang didirikan di atas tiang yang tinggi agar terlindung dari bahaya banjir dan binatang buas. Atap rumah dibuat dari rumbia berbentuk melengkung dan berukuran lebar melampaui bagian teras.
 
Gambar 1.1 Rumah Panggung Masyarakat Dongson
Sumber:
Ciri-ciri kebudayaan yang ada pada masyarakat Dongson tersebut juga dikenal oleh masyarakat di Nusantara, misalnya sistem pertanian sawah yang berkembang di Jawa pada sekitar abad ke-7 Masehi mungkin sudah lebih dahulu dikenal di Asia Tenggara daratan, demikian juga teknologi rancang-bangun perahu yang secara regional dikenal dengan istilah teknik tradisi Asia Tengara. Bukti-bukti arkeologis yang berupa runtuhan perahu yang dibangun menurut tradisi ini ditemukan di Jambi (Situs Lambur, Ujung Plancu, dan Solok Sipin), dan Palembang (Situs Kolam Pinisi, Samirejo, dan Tulung Selapan).
Tradisi pembuatan barang budaya dari perunggu di Vietnam (bagian Utara) sendiri dimulai pada sekitar pertengahan milenium kedua sebelum masehi. Tradisi perunggu itu sendiri menurut para arkeolog Vietnam berasal dari budaya masyarakat Dong Dau dan Go Mun, bersama dengan wilayah Muangthai (bagian tengah dan Timur Laut) kawasan ini memiliki bukti paling awal tentang tradisi pembuatan perunggu di Asia Tenggara. Jenis-jenis barang perunggu yang mereka hasilkan antara lain kapak corong, ujung tombak, sabit, mata panah, dan benda-benda kecil lainnya seperti pisau, kail dan aneka bentuk gelang.
Sekitar 300 S.M, mulai muncul tradisi pembuatan nekara perunggu, penguburan orang yang memiliki status sosial tinggi, dan kehadiran benda-benda besi untuk yang pertama kalinya. Tradisi-tradisi Dongson inilah yang berpengaruh besar terhadap perkembangan kebudayaan masyarakat awal kepulauan Indonesia secara umum. Di daerah-daerah kepulauan Indonesia banyak sekali ditemukan benda-benda budaya yang memiliki kesamaan corak dengan benda-benda atau barang tradisi Dongson, contohnya adalah nekara Heger tipe I. Ada sekitar 56 nekara atau bagian-bagian dari nekara yang tersebar di pulau Jawa, Sumatra dan Maluku Selatan.
Kebudayaan Dongson ini, selain dibawa sendiri oleh orang-orang Dongson, banyak barang-barang logam dari tradisi Dongson itu yang dikirim ke Indonesia sebagai barang hadiah yang diberikan pada penguasa setempat sebagai lambang martabat raja dan kekuasaannya oleh para penguasa politik dan agama di Vietnam.  Akibat terjadinya pengenalan benda dan teknologi perunggu dari Dongson (Vietnam) ke wilayah kepulauan Indonesia, menyebabkan di beberapa daerah kemudian muncul pusat-pusat pembuatan logam. Berdasarkan latar belakang ini, datangnya gelombang kebudayaan logam ke Indonesia melalui jalur barat lewat Malaysia Barat. Menurut para ilmuwan, pembawa kebudayaan ini sebangsa dengan pembawa kebudayaan kapak persegi, yaitu bangsa Austronesia.
Situs-situs peninggalan budaya perunggu di Indonesia tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Di Sumatra bagian Selatan (daerah Bangkinang dan Kerinci) ditemukan benda-benda perunggu berupa aneka patung dalam ukuran kecil, cincin dan gelang-gelang. Gelang-gelang tersebut kebanyakan ditemukan dalam kubur peti batu atau sarkofagus sebagai bekal kubur. Selain di Sumatra, situs-situs ditemukannya peninggalan budaya perunggu di Indonesia antara lain terdapat di Jawa Timur (daerah Lumajang) berupa nekara tipe Heger I, pisau belati atau pisau pendek dengan mata pisau dari besi dan pegangan dari perunggu. Jawa Tengah (daerah Gunung Kidul, dekat Wonosari) berupa kapak, pahatan, pisau bertangkai, cincin perunggu, dan manik-manik. Sama seperti penemuan di Sumatra, semua temuan benda perunggu di Jawa ditemukan di dalam kubur peti batu atau sarkofagus dan berfungsi sebagai bekal kubur bagi yang meninggal. Di Jawa Barat, berupa kapak corong, cincin, mata tombak, kapak-kapak yang berkaitan dengan benda upacara (candrasa). Sulawesi Selatan (Makasar) berupa bejana perunggu berbentuk pipih. Bali (daerah Pacung dekat Sembiran) berupa nekara Pejeng. Di NTT sama halnya seperti nekara yang ditemukan di Jawa Timur yaitu berupa nekara bertipe Heger I.

B.     Corak Kehidupan Masyarakat pada Zaman Perunggu
Kebudayaan dan masyarakat merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Masyarakat dapat bertahan hidup karena menghasilkan kebudayaan, kebudayaan itu ada karena dihasilkan oleh masyarakat, dan melalui kebudayaanlah segala corak kehidupan masyarakat dapat diketahui.
1.        Sistem Kepercayaan
Sistem kepercayaan masyarakat prasejarah diperkirakan mulai tumbuh pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut atau disebut dengan masa bermukim dan berladang yang terjadi pada zaman Mesolithikum.
Bukti adanya kepercayaan pada zaman Mesolithikum yang memperkuat adanya corak kepercayaan pada zaman prasejarah adalah ditemukannya lukisan perahu pada nekara. Lukisan tersebut menggambarkan kendaraan yang akan mengantarkan roh nenek moyang ke alam baka. Hal ini berarti pada masa tersebut sudah mempercayai akan adanya roh. Kepercayaan terhadap roh terus berkembang pada zaman prasejarah, hal ini tampak dari kompleksnya bentuk-bentuk upacara penghormatan, penguburan dan pemberian sesajen. Kepercayaan terhadap roh inilah dikenal dengan istilah Aninisme. Animisme berasal dari kata Anima artinya jiwa atau roh, sedangkan isme artinya paham atau kepercayaan. Selain adanya kepercayaan animisme, juga terdapat kepercayaan dinamisme. Dinamisme adalah kepercayaan terhadap benda-benda tertentu yang dianggap memiliki kekuatan gaib. Contohnya yaitu kapak yang dibuat dari batu chalcedon (batu indah) dianggap memiliki kekuatan.

2.        Kemasyarakatan
Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, masyarakatnya hidup berkelompok dalam jumlah yang kecil, tetapi hubungan antar kelompok sudah mulai erat karena mereka harus bersama-sama menghadapi kondisi alam yang kejam dan berat, sehingga sistem kemasyarakatan yang muncul pada masa tersebut sangat sederhana.
Pada masa bercocok tanam, kehidupan masyarakat yang sudah menetap semakin mengalami perkembangan dan hal inilah yang mendorong masyarakat untuk membentuk keteraturan hidup. Aturan hidup dapat terlaksana dengan baik karena adanya seorang pemimpin yang mereka pilih atas dasar musyawarah. Pemilihan pemimpin tentunya tidak dapat dipilih dengan sembarangan, seseorang yang dipilih sebagai pemimpin adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk melakukan hubungan dengan roh-roh atau arwah nenek moyang demi keselamatan desa setempat, serta keahlian-keahlian yang lebih.
Sistem kemasyarakatan terus mengalami perkembangan khususnya pada zaman perunggu, karena pada masa ini kehidupan masyarakat lebih kompleks dan terbagi menjadi kelompok-kelompok sesuai dengan bidang keahliannya. Masing-masing kelompok memiliki aturan sendiri, dan adanya aturan yang umum yang menjamin keharmonisan hubungan masing-masing kelompok. Aturan yang umum dibuat atas dasar kesepakatan bersama atau musyawarah dalam kehidupan yang demokratis. Dapat disimpulkan bahwa sistem kemasyarakatan pada masa prasejarah di Indonesia telah dilandasi dengan musyawarah dan gotong royong.

3.        Pertanian
Sistem pertanian yang dikenal oleh masyarakat prasejarah pada awalnya adalah perladangan, yang hanya mengandalkan pada humus, sehingga bentuk pertanian ini wujudnya berpindah tempat sesuai dengan tingkat kesuburan tanah. Apabila masyarakat menilai tanah sudah tidak lagi subur atau tidak ada humus, maka mereka akan pindah atau mencari tempat yang dianggap subur atau dapat di tanami. Selanjutnya masyarakat mulai mengembangkan sistem persawahan, sehingga tidak lagi bergantung pada humus, dan berusaha mengatasi kesuburan tanahnya melalui pengolahan tanah, irigasi dan pemupukan. Sistem persawahan dikenal oleh masyarakat prasejarah Indonesia pada masa neolithikum, karena pada masa tersebut kehidupan masyarakat sudah menetap dan teratur.
Pada masa perundagian, sistem persawahan mengalami perkembangan mengingat adanya spesialisasi atau pembagian tugas berdasarkan keahliannya, sehingga masyarakat prasejarah semakin mahir dalam persaudaraan.

4.        Pelayaran
Adanya perpindahan bangsa-bangsa dari daratan Asia ke Indonesia membuktikan bahwa sejak abad sebelum masehi, nenek moyang bangsa Indonesia sudah memiliki kemampuan berlayar. Kemampuan berlayar terus mengalami perkembangan, mengingat kondisi geografis Indonesia terdiri dari pulau-pulau sehingga untuk sampai kepada pulau yang lain harus menggunakan perahu. Jenis perahu yang dipergunakan adalah perahu bercadik.
Pembuatan perahu bercadik yang sederhana tetapi sudah mampu mengarungi samudera pada jaman prasejarah. Hal tersebut patutlah untuk dibanggakan kehebatan kemampuan berlayar nenek moyang bangsa Indonesia menjadi modal dasar dari kemampuan berdagang, sehingga pada awal abad masehi bangsa Indonesia sudah turut ambil bagian dalam jalur perdagangan internasional.

5.    Sosial-Ekonomi
Perkembangan kondisi sosial ekonomi masa Prasejarah di Indonesia sebenarnya mulai terlihat pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut atau  zaman Mesolitikum. Pada masa ini manusia mulai menyadari pentingnya pola kehidupan menetap pada suatu tempat. Hal ini disebabkan adanya kemajuan dan perkembangan pengetahuan masyarakat masa itu dalam berusaha mengolah alam lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan hidup.
Pada kehidupan menetap ini kemudian memunculkan bentuk-bentuk rumah yang sangat sederhana sebagai tempat tinggal, tempat berlindung terhadap iklim dan cuaca, serta terhadap gangguan binatang buas. Berdasarkan studi analogi etnografi dapat diperkirakan bahwa bentuk rumah tingkat awal sekali adalah berukuran kecil, berbentuk kebulat-bulatan dengan atap yang dibuat dari daun-daunan. Bentuk rumah semacam ini diduga merupakan bentuk awal rumah di Indonesia, dan sampai saat ini masih dijumpai di daerah Timor, Kalimantan Barat, Nikobar, dan Andaman.
Teknologi pembuatan perkakas semakin maju, hal ini terbukti dengan mulai ditemukannya alat-alat batu yang diasah secara halus, yaitu yang dikenal dengan beliung persegi. Kemajuan pada aspek teknologi ini selanjutnya akan memunculkan adanya stratifikasi sosial tertentu dalam suatu komuniti, misalnya muncul golongan-golongan yang pandai dalam membuat beliung persegi, mulai dari pembuatan bentuk dasar (plank) hingga menjadi beliung persegi yang siap pakai. Selanjutnya dikenal pula teknologi pembuatan gerabah sebagai salah satu sarana kebutuhan hidup sehari-hari yang sangat penting, sehingga memunculkan golongan-golongan tertentu yang memiliki kepandaian dalam pembuatan gerabah. Perkembangan lainnya yang sangat mendasar pada masa ini adalah mulai dikenalnya bercocok tanam sederhana, yaitu dengan sistem tebas-bakar.
Pada zaman perunggu, pola kehidupan perkampungan mengalami perkembangan dan semakin besar, hal ini disebabkan dengan mulai bersatunya kampung- kampung dan terjadinya sebuah desa yang besar. Munculnya desa-desa besar ini salah satunya disebabkan semakin tinggi frekuensi perdagangan antar perkampungan dalam bentuk tukar menukar barang (barter). Perpindahan penduduk melalui jalur pelayaran juga menjadi penyebab semakin padatnya populasi penduduk dalam suatu perkampungan. Hal seperti ini dapat dibuktikan dari hasil ekskavasi di Situs Gilimanuk (Bali) yang berhasil diketahui jumlah penduduknya mencapai 300 orang. Semakin luasnya hubungan antar wilayah maka kegiatan perdagangan pada masa inipun menjadi semakin berkembang. Jenis-jenis barang daganganpun semakin kompleks karena hubungan-hubungan tersebut telah mencakup wilayah yang sangat luas. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya temuan benda-benda perunggu berupa nekara yang tersebar  hampir di seluruh wilayah Indonesia, yang berasal dari kebudayaan Dongson di Vietnam Utara.
Mata pencaharian pokok di kehidupan perkampungan ini adalah pertanian yang mulai dilakukan secara lebih teratur dan maju, yaitu dengan sistem pengairan dan sistem teras dalam pembuatan sawah-sawah. Hal ini juga didukung dengan semakin majunya sistem teknologi cetak peralatan dari logam (khususnya perunggu) untuk keperluan mengolah sawah. Usaha-usaha domestikasi hewanpun semakin memperlihatkan kemajuannya. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya temuan-temuan tulang hewan seperti babi, kerbau, kuda, anjing, dan beberapa jenis unggas pemukiman, kemungkinan dilakukan untuk persediaan bahan makanan hewani, meskipun kegiatan perburuan masih dilakukan walau dengan jumlah yang lebih berkurang.
Salah satu benda perunggu yang memiliki nilai estetika dan ekonomi sangat tinggi yang ditemukan hampir di seluruh wilayah Asia Tenggara adalah nekara. Nekara tersebut merupakan hasil kebudayaan Dongson di Vietnam Utara yang kemudian menyebar hampir seluruh wilayah Asia Tenggara. Hal ini sekali lagi telah membuktikan adanya hubungan secara sosial-ekonomi antara Indonesia dengan wilayah Asia Tenggara lainnya. Kegiatan ekonomi dalam bentuk perdagangan didorong oleh adanya temuan alat-alat transportasi air, yaitu perahu bercadik. Bentuk-bentuk perdagangan pada umumnya dilakukan dengan sistem tukar barang dengan barang. Kelangsungan hubungan perdagangan yang secara terus menerus dan cenderung semakin kompleks tersebut pada akhirnya memunculkan apa yang disebut dengan pasar dalam cakupan arti yang sederhana.

6.    Sosial-Budaya
Seni ukir yang diterapkan pada benda-benda masa megalitikum dan seni hias pada benda-benda perunggu menggunakan pola-pola geometris sebagai pola hias utama. Hal ini terlihat dari temuan di Watuweti (Flores) yang menggambarkan kapak perunggu, perahu dan melukis unsur-unsur dalam kehidupan yang dianggap penting. Pahatan-pahatan pada batu untuk menggambarkan orang atau binatang menghasilkan bentuk yang bergaya dinamis dan memperlihatkan gerak. Terdapat pula kecenderungan untuk melukiskan hal-hal yang bersifat simbolis dan abstrak-realistis, seperti yang tampak pada gambar-gambar manusia yang diukir sebagai bulu burung bermata lingkaran pada nekara perunggu.
Berbagai benda diciptakan guna keperluan religius. Pola topeng pada nekara tipe Pejeng dan pada beberapa jenis peti kubur berfungsi magis sebagai penolak bahaya. Yang sangat menonjol pada zaman perunggu ini adalah segi kepercayaan kepada pengaruh arwah (roh) nenek moyang terhadap perjalanan hidup manusia dan masyarakatnya. Orang-orang yang meninggal diberikan penghormatan dan persajian selengkap mungkin dengan maksud mengantar arwah dengan ketempat tujuanya, yaitu dunia arwah.
Kehidupan masyarakat di zaman perunggu memperlihatkan rasa solidaritas yang kuat. Peranan solidaritas ini tertanam dalam hati setiap orang sebagai warisan yang telah berlaku sejak nenek moyang. Adat kebiasaan dan kepercayaan merupakan pengikat yang kuat dalam mewujudkan sifat itu. Akibatnya, kebebasan individu  agak terbatas karena adanya aturan-atauran yang apabila dilanggar akan membahayakan masyarakat. Pada masa ini sudah ada kepemimpinan dan pemujaan kepada sesuatu yang suci di luar diri manusia yang tidak mungkin disaingi  serta berada diluar batas kemampuan manusia. Kehidupan masyarakat mulai dibedakan berdasarkan golongan-golongan tertentu, seperti golongan pengatur upacara-upacara yang berhubungan dengan kepercayaan, petani, pedagang dan pembuat benda-benda dari logam (pandai logam).

7.    Kemajuan Teknologi
Teknologi pembuatan benda-benda logam (khusus perunggu) kemudian mengalami perkembangan yang sangat pesat, di samping membuat perkakas untuk keperluan sehari-hari, misalnya kapak, corong, dan sebagainya, mulai dikembangkan pula pembuatan benda-benda yang memiliki nilai estetika dan ekonomis, misalnya nekara, boneka perunggu, gelang, cincin, bandul kalung, dan sebagainya. Benda-benda tersebut ternyata menjadi salah satu komoditi dalam hubungan perdagangan antara Indonesia dengan wilayah Asia Tenggara lainnya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment