1. Pendahuluan
Salah satu ciri manusia modern adalah selalu ingin tahu alasan dibalik
semua realitas dunia. Cepat atau lambat dalam benak manusia akan terbesit
pertanyaan. Kapan awal dunia ini?, siapakah manusia pertama yang lahir ke
dunia?, apakah variasi ras dari berbagai dunia bersumber dari nenek moyang yang
sama?, bagaimana mereka bisa mempunyai kebudayaan yang berbeda? dan segudang
pertanyaan lain yang cukup membuat otak mengkerut. Pada karya tulis ini akan diulas mengenai zaman batu awal
yang disebut paleolitikum. Latar belakang dari masa ini sedikit mengulas siapa
nenek moyang kita menurut penganut teori evolusi. Sebetulnya asal-usul manusia
telah dijelaskan oleh agama dan banyak suku di dunia. Cerita tentang manusia
pertama dan peninggalannya dianggap sebagai cerita karangan atau mitis belaka
oleh kaum materialis. Dalam kajian seni rupa prasejarah kita tidak boleh
melupakan bukti otentik dari artefak. Dari artefak ini kita bisa menafsirkan
banyak hal sesuai ciri fisiknya.
Catatan yang saya buat ini hanya akan berfokus pada masa prasejarah,
khususnya zaman paleolitikum. Karena karya
ini merupakan kajian kebudayaan, maka pembagian masa dalam sejarah bumi ini
menggunakan dasar arkeologi. Arkeologi merupakan ilmu yang mempelajari
hasil-hasil kebendaan dari kebudayaan-kebudayaan yang sudah silam. Berdasarkan
hasil peninggalan kebudayaan manusia yang telah ditemukan, para ahli membagi
peninggalan prasejarah itu menjadi zaman batu dan logam. Kebudayaan manusia
pada zaman batu ini dapat kita bagi ke dalam empat golongan yaitu,
paleolitikum, mesolitikum, neolitikum, dan megalitikum.
Paleolitikum sendiri
adalah konsen karya tulis ini sebagai salah satu bahan diskusi mata kuliah
Kajian Seni Rupa Nusantara. Mudah-mudahan karya ini mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang beredar mengenai latar belakang pertumbuhan, masyarakat, dan produk yang
dihasilkan masyarakat paleolitikum.
2. Paleolitikum
Paleolitikum merupakan
jaman batu tua yang terjadi selama berlangsungnya masa plestosen atau diluvium, kira-kira 600.000 tahun. Pada
masa plestosen, permukaan bumi dipenuhi oleh es. Iklim yang dingin pada masa
ini disebut juga masa glasial. Manusia harus berpindah-pindah ke tempat yang
iklimnya lebih cocok bagi mereka atau menyesuaikan diri dengan alam. Bagi
mereka yang tidak mampu bertahan tentu saja akan punah. Perpindahan dari tempat
ke tempat yang lain pada masa itu dimungkinkan karena es menyusutkan permukaan
laut antara 100-150 m dari permukaan semula. Daratan yang tercipta dari laut
dangkal ini kemudian menjadi jembatan bagi manusia untuk berpindah tempat dalam
usaha mereka mencari makan dan menghindari bencana. Setelah zaman paleolitikum
ini berakhir maka seluruh periode zaman batu terjadi
pada zaman geologi holosen atau alluvium.
Gambar
1
Australopitesin
Africanus
Sumber: Manusia Purba
Proses penyesuaian diri
terhadap alam ini dianggap sebagai dasar mengapa manusia berevolusi. Karya
tulis ini tidak akan berusaha menjawab kapan manusia pertama ada dan dimana
tempatnya. Teori-teori tentang ini belum sepenuhnya valid dan perlu
dipertanyakan kembali kebenarannya. Dalam video yang dikeluarkan BBC (2004)
berjudul Walking With Cavemen,
ilmuwan barat menyatakan bahwa manusia pertama terdapat di Afrika. Manusia pada
kala itu harus berpisah ke dalam dua golongan arah. Golongan manusia purba yang
memilih utara sebagai tempat hidup mereka dianggap lebih sukses menyesuaikan
hidup dan menjadi cikal bakal nenek moyang orang Eropa. Sedangkan bagi golongan
yang memilih selatan sebagai tempat bertahan mereka, dianggap cukup sukses
menyesuaikan diri dengan alam, dan menjadi cikal bakal nenek moyang orang
Afrika. Dari Afrika inilah nenek moyang kita berasal.
Prof. Arysio Santos
(2009) dalam Atlantis The Lost Continent
Finally Found menyatakan bahwa sebenarnya pada jaman plestosen telah
terdapat peradaban maju yang disebut Atlantis. Karena badai dan banjir besar,
maka kekaisaran dunia itu lenyap sehingga manusia memulai peradaban barunya
kembali dengan alat-alat primitif. Ia juga membantah adanya teori evolusi, dan
berkeyakinan bahwa manusia hanya berdampingan dengan homo sapiens jenis
manapun. Yang paling menarik adalah teori dia yang menyatakan bahwa Atlantis
berada di Indonesia. Teori ini dikemukakan berdasar letak geografis Indonesia
yang dilalui tiga lempeng bumi dan terdapat banyak gunung vulkanis sebagai ciri
peradaban subur seperti yang dikisahkan Plato.
Perbedaan ini belum
seberapa, belum lagi jika kita bandingkan dengan keprcayaan tiap agama dan
suku-suku di dunia. Setidaknya ada penjelasan jalan menengah dalam pemahaman
islam. Pada ayat 30 dalam surat Al-baqarah dinyatakan bahwa Tuhan hendak
menciptakan manusia di muka bumi. Kemudian malaikat mengherankan tindakkan
Tuhan dan berkata bahwa bukankah manusia congkak dan akan berbuat kerusakan di
muka bumi. Tuhan pun menjawab, Aku lebih tahu daripada kau dan akan ku ciptakan
manusia sebagi pemimpin dan mahkluk yang sempurna. Dari data ini beberapa ahli
tafsir hadist menyimpulkan bahwa sebelum diciptakan manusia versi kita
sekarang, Tuhan telah menciptakan manusia dengan jenis berbeda.
Mari kita lebih berfokus
pada penemuan artefak manusia purba zaman paleolitikum di Indonesia. Telah
disinggung sebelumnya bahwa zaman paleolitikum berlangsung selama masa
plestosen. Penemuan-penemuan manusia pada lapisan tanah plestosen
ini terdapat di berbagai belahan dunia. Di Indonesia sendiri, penemuan tersebut
baru ditemukan di pulau Jawa saja. Penemuan artefak di Indonesia mempunyai arti
penting bagi dunia. Fosil yang ditemukan ternyata berasal dari segala zaman plestosen.
Gambar
2
Sketsa
wajah berdasar tengkorak dari Trinil
Sumber:
Lukisan Sejarah
Penemuan pertama yang menjadi awal penyelidikan selanjutnya adalah
temuan Pithecanthropus Erectus pada
tahun 1890 oleh E. Dubois di dekat Trinil Solo. Karena tengkorak diperkirakan memiliki kemiripan dengan kera
(phitekos) dan manusia (anthropos), namun mampu berjalan dengan
tegak (erectus), maka dinamailah Pithecanthropus Erectus atau manusia kera yang berjalan
tegak.
Pada tahun 1936 Von
Koenigswald mendapatkan sebuah fosil tengkorak anak-anak di dekat Mojokerto.
Dari giginya diperkirakan fosil ini berumur 5 tahun, dan Koenigswald menduga
tengkorak ini berasal dari anak Pithecanthropus
yang ia beri nama Homo Mojokertensis.
Selain ditemukannya fosil tengkorak manusia purba, Koenigswald juga menemukan
beberapa fosil hewan menyusui. Atas penemuan ini kemudian ia membagi lapisan
tanah Indonesia ke dalam tiga bagian: paling bawah ialah lapisan jetis
(plestosen bawah), lapisan Trinil (plestosen tengah), dan paling atas ialah
lapisan Ngandong (plestosen atas).
Penemuan fosil pertama di
Trinil bernama Pithecanthropus
Erectus. Pithecanthropus Trinil ini terdapat di plestosen
tengah, namun ada juga yang terdapat di plestosen bawah. Karena Pithecanthropus pada plestosen bawah ini lebih kuat
dan tubuhnya besar maka dinamai Pithecanthropus Robustus.
Fosil yang ditemukan di Mojokerto pun berubah nama menjadi Pithecanthropus Mojokertensis karena
letaknya di plestosen bawah.
Gambar
3
Suasana
penggalian artefak di Jawa
Sumber: Indonesian Heritage
Tahun 1941 Von Koenigswald
menemukan sebagian dari tulang rahang bawah yang jauh lebih kuat dan besar dari
Pithecanthropus. Geraham ini
menunjukkan corak-corak kemanusiaan namun lebih banyak sifat-sifat kera,
dagunya tidak ada. Karena mahkluk plestosen bawah itu dianggap lebih tua dan
besar, maka dinamailah Meganthropus
Palaeojavanicus.
Ngandong pada tahun
1931-1934 ditemukanlah fosil tengkorak yang menunjukkan bahwa mahkluk ini
memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari Pithecanthropus Erectus. Ia sudah dianggap menjadi manusia,
karenanya nama yang diberikan ialah Homo
Soloensis yang berarti manusia dari solo.
Gambar
4
Peta
penggalian artefak di Jawa
Sumber: Indonesian Heritage
E. Dubois pernah
menemukan fosil tengkorak di daerah Wajak Kediri pada tahun 1889. Penemuan itu
kembali diperbaharui dan diteliti sehingga ditemukan kesimpulan bahwa Homo Wajakensis ini termasuk dalam
golongan Australoide, yang bernenek moyang Homo
Wajakensis dan nantinya menurunkan langsung bangsa-bangsa asli di
Australia.
Koenigswald menyatakan
bahwa Homo Wajakensis sama seperti Homo Soloensis yang berasal dari lapisan
bumi plestosen atas dan dapat digolongkan menjadi Homo Sapiens. Mahkluk ini sudah menunjukkan tingkat kecerdasan
dengan fakta ditemukannya ciri-ciri kuburan sewaktu ia ditemukan.
Mengubur berarti merawat
mayat, hal ini merupakan tanda yang membedakan manusia dengan binatang, dan
kesadaran terhadap hal diluar perhitungan manusia yaitu mati. Namun karena
tidak terdapatnya bukti yang kuat, sampai sekarang tidak bisa disimpulkan
bagaimanakah bentuk kebudayaan rohaniah Homo
Wajakensis.
Soekmono (1973) dalam
Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1, menyatakan bahwa hasil kebudayaan
tertua di Indonesia ialah yang ditemukan disekitar daerah Pacitan dan Ngandong.
2.1. Kebudayaan Pacitan
Pada tahun 1935 Von
Koenigswald menemukan sejumlah alat-alat batu di daerah Pacitan. Alat tersebut
dinamakan kapak genggam atau kapak perimbas, yang merupakan alat serupa kapak
tetapi tidak bertangkai karena penggunaannya untuk digenggam. Kapak genggam
dibuat dengan teknik yang masih kasar dan tidak berkembang dalam kurun waktu
yang lama, kira-kira dari tingkat akhir plestosen tengah sampai permulaan
holosen.
Gambar
5
Perkakas
batu yang ditemukan di Pacitan
Sumber: Lukisan Sejarah
Movius dalam Sejarah
Nasional Indonesia hal 86, menggolongkan perkakas-perkakas batu yang ia teliti
ke dalam beberapa jenis utama dengan ciri-ciri tertentu. Jenis-jenis ini
disebut kapak perimbas (chopper), kapak perimbas dengan bentuk yang lebih kecil
disebut serut genggam (scraper), kapak penetak (chopping tool), pahat genggam
(hand adze) dan kapak genggam.
Perkakas-perkakas zaman
peleolitikum ini disiapkan dengan teknik pemotongan sederhana secara langsung
dari batu-batu kerakal, atau pecahan batu yang diperoleh dari saling
membenturkan batu besar. Ciri-ciri alat batu dari hasil penggolongan Movius
dapat kita ketahui sebagai berikut:
1. Kapak perimbas: Bagian tajamnya yang
berbentuk konveks (cembung) atau kadang-kadang lurus. Bentuk lurus ini
diperoleh dari patahan pada salah satu sisi pinggiran batu, dan kulit batu
masih melekat pada sebagian besar permukaan batu.
2. Kapak penetak: Benda ini berawal dari
sebongkah batu yang bagian tajamnya dibentuk liku-liku melalui penyerpihan yang
dilakukan selang-seling pada dua sisi pinggirannya.
3. Pahat genggam: Fisik alat ini mirip
dengan bujur sangkar atau persegi panjang. Bagian tajamnya dibuat melalui
penyerpihan terjal pada permukaan atas menuju ke pinggiran batu.
4. Kapak genggam awal: Bagian tajamnya
diperoleh dari pemotongan yang dilakukan pada satu permukaan batu. Bentuk
perkakas ini meruncing dan kulit batu (cortex) masih melekat pada pangkal
alatnya sebagai tempat genggaman.
Perlu diketahui, istilah-istilah yang
digunakan pada perkakas di atas, tidak dimaksudkan kepada fungsi perkakas
tersebut. Penamaan ini dimaksudkan untuk mempermudah penggolongan dan deskripsi
alat-alat batu.
2.1.a. Cara Pemakaian Perkakas
Berikut adalah beberapa cara
menggunakan alat batu menurut Clark Howell dalam buku yang berjudul Manusia
Purba.
1.
Alat
Perimbas, benda ini biasanya terbuat dari sekepal batu dan berfungsi sebagai
pemecah tulang, senjata, atau perimbas kayu.
2.
Kapak
Genggam, alat ini memiliki ujung-ujung yang lebih halus. Benda yang digunakan
untuk menguliti dan memotong hewan buruan ini terdapat dalam berbagai ukuran.
3.
Alat
Serut Samping, berfungsi sebagai pengolah kulit. Pinggiran serpihnya kuat dan
diasah halus.
Gambar 6
Penggunaan kapak perimbas
Sumber: Manusia Purba
Gambar 7
Penggunaan kapak genggam dan alat serut samping
Sumber: Manusia Purba
4.
Gurdi,
merupakan kepingan batu yang dihaluskan. Diduga fungsinya untuk melubangi kulit
binatang, dan mungkin ini adalah bukti usaha manusia pertama untuk membuat
pakaian.
5.
Gurdi
Kecil, adalah alat dengan berbagai macam ukuran dan mampu menghasilkan goresan
dua alur yang sejajar.
6.
Batu
Polihedral, dengan permukaannya yang terpecah-pecah berfungsi sebagai pemecah
tulang atau peluru lempar untuk membunuh binatang (musuh).
7.
Kapak
Genggam Primitif, perkakas ini mirip beliung, kedua permukaannya agak kasar,
berujung cukup runcing, dan digunakan untuk menggali akar dan umbi yang
dijadikan bahan makanan.
Gambar 8
Penggunaan gurdi dan gurdi kecil
Sumber: Manusia Purba
Gambar 9
Penggunaan batu polihedral dan kapak genggam primitif
Sumber: Manusia Purba
8.
Alat
Runcing Levallois, dengan pinggirannya yang tajam dan permukaan yang diolah
hingga pantas untuk menjadi mata tombak, berfungsi untuk menusuk namun tidak
untuk dilempar.
9.
Batu
Bergerigi, diduga alat ini berfungsi sebagai pembentuk pada kayu, seperti
serutan.
10. Serpihan Berpunggung Tumpul,
ukurannya seperti pisau saku yang berfungsi sebagai alat potong serba guna.
Benda ini terbuat dari serpihan batu inti, sehingga mudah memotong daging.
11. Batu Runcing Gravette, alat ini hanya
ditemukan pada situs Cro-Magnon tertentu. Dilihat dari ciri fisiknya, mungkin
alat ini dipasang pada lembing.
Gambar 10
Penggunaan alat
runcing levallois dan batu bergerigi
Sumber:
Manusia Purba
Gambar 11
Penggunaan
serpihan berpunggung tumpul dan batu runcing gravette
Sumber:
Manusia Purba
Gambar 12
Cara membuat
serpihan dan alat runcing levallois
Sumber:
Manusia Purba
Gambar 13
Teknik bilah inti
Sumber:
Manusia Purba
Gambar 14
Pembuatan gurdi
kecil dari bilah
Sumber:
Manusia Purba
Gambar 15
Teknik tongkat dan
penyerpihan dengan tekanan
Sumber:
Manusia Purba
1.2. Kebudayaan Ngandong
Ngandong di sekitar daerah temuan Phitecanthropus Soloensis di undak-undak
Bengawan Solo pada ketinggian kurang lebih 20 m di atas permukaan sungai, telah
ditemukan perkakas manusia yang dibuat dari tulang. Dienst van den Mijnbouw
telah melakukan penelitian ini pada tahun 1932-1933. Diantara benda itu ada
yang terbuat dari tulang, batu-batu bundar, dan tanduk binantang, dan menjadi
semacam alat penusuk. Diduga fungsi dari alat ini adalah untuk menggali ubi
atau makanan dari dalam tanah. Terdapat pula alat yang mirip ujung tombak
dengan gigi pada sisinya seperti garpu, kemungkinan dipergunakan untuk
menangkap ikan. Batu-batu bulat yang ikut ditemukan di Ngandong ini diduga
berfungsi sebagai batu pelempar yang dikaitkan pada tali untuk menjerat
binatang buruan.
Gambar
16
Perkakas
dari Ngandong dan Watuhalang
Sumber: Lukisan Sejarah
Alat
serpih yang telah ditemukan tersebut diduga berasal dari plestosen atas. Maka
disimpulkan bahwa perkakas itu merupakan hasil kebudayaan Homo Soloensis dan Homo
Wajakensis. Dari ciri-ciri fisiknya, alat-alat tersebut berfungsi sebagai
alat berburu, menangkap ikan, dan mengumpulkan buah atau umbi-umbian. Atas
dasar tersebut, maka diperolehlah kesimpulan bahwa manusia pada masa
paleolitikum ini berburu mengandalkan alam sebagai sumber makanan (foodgathering) dan berpindah-pindah
tempat (nomanden), sebab alat
peninggalannya tidak dapat digunakan untuk bercocok tanam.
1.3. Kesenian
Pada
zaman paleolitikum ini kita bisa temukan ukiran-ukiran tulang dan lukisan gua
yang sangat indah. Di eropa selatan terdapat banyak sekali arca-arca, lukisan
gua dengan gambar binatang. Ini menunjukkan bahwa cita rasa seni dan keindahan
telah ada pada manusia pertama di zaman akhir plestosen itu.
Di
Indonesia sendiri tanda-tanda kuat bahwa kesenian zaman plestosen telah hadir
belum didapat. Pada tahun 1950 Ny. Heeren-Palm menemukan gambar-gambar telapak
tangan berwarna merah di gua Leang-leang Sulawesi Selatan. Kemudian H.R. van
Heekeren melanjutkan penyelidikan disekitar gua tersebut, dan menemukan gambar
berwarna dari seekor babi hutan. Ini merupakan gambar pertama yang ditemukan di
negeri kita. Pada masa berikutnya ditemukanlah gambar-gambar tangan yang lain
di dua buah gua yang tidak jauh dari gua Leang-leang tersebut.
Pada
awalnya, gambar babi hutan ini diperkirakan berasal pada zaman akhir
paleolitikum seperti yang terjadi di Eropa. Setelah diteliti dengan seksama
rupanya peninggalan ini berasal dari zaman mesolotikum.
Gambar 17
Lukisan tangan
dari gua Leang-leang
Sumber:
Indonesian Heritage
Menurut
Clark Howell, manusia purba di Eropa telah memiliki cita rasa seni dimulai pada
paleolitikum atas. Lukisan-lukisan batu yang mereka tinggalkan dibuat dengan
cermat, teliti, dan dapat disimpulkan bahwa ini adalah hasil karya seniman
berpengalaman. Gaya penggambaran pada masa ini tidak banyak berubah, namun
menggunakan teknik yang berbeda-beda.
Medianya bisa pada dinding gua atau tulang, catnya menggunakan bahan
alam, dengan kuas dahan remuk, bulu, atau rambut.
Gambar 18
Lukisan gua di
Eropa
Sumber:
Manusia Purba
Lukisan
pada dinding gua di Eropa ini ada yang hanya sketsa, dan ada juga yang terdapat
isi pada bidang sketsanya. Manusia purba pada masa ini juga mengenal gambar
bayangan dengan mencuci tinta berlebih pada dinding, dan menambahkan campuran
warna lain yang mereka kehendaki.
Ukiran
pada zaman ini juga berisi mahkluk-mahkluk yang tidak jauh berbeda, yaitu
binatang buruan. Mereka mengukir pada tulang dengan gurdi, sehingga dihasilkan
goresan-goresan kuat dan halus. Beberapa karya pahat yang ditemukan telah ada
yang berbentuk binatang, dan terbuat dari gading, tulang, atau tanduk.
Gambar 19
Ukiran pada
dinding gua di Eropa
Sumber:
Manusia Purba
Daftar Pustaka
HOWEL, Clark. (terjemahan S. Timan). 1980. Manusia Purba. Jakarta: Tira Pustaka.
MIKSIC, John (editor). 1996. INDONESIAN HERITAGE Vol. Ancient History.
Singapura: Grolier International, Inc.
POESPONEGORO, Marwati Djoened. 1993. Sejarah Nasional Indonesia 1. Jakarta:
Balai Pustaka. ISBN: 979-407-407-1
SANTOS, Arysio. 2009. Atlantis The
Lost Continent Finally Found. Jakarta: Ufuk Press. ISBN: 978-602-8224-62-8
SOEKMONO. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1. Yogyakarta: Kanisius.
YAMIN, Muhammad. 1990. Lukisan Sejarah. Jakarta: Ghalia.
0 comments:
Post a Comment