BAB 1
KESENIAN ZAMAN MESOLITIKUM DAN
NEOLITIKUM
A. Latar
Belakang Pertumbuhan
Prasejarah adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada masa di mana
catatan sejarah yang tertulis belum tersedia. Batas antara zaman prasejarah
dengan zaman sejarah adalah mulai adanya tulisan. Hal ini menimbulkan suatu pengertian
bahwa prasejarah adalah zaman sebelum ditemukannya tulisan, sedangkan sejarah
adalah zaman setelah adanya tulisan.
Berdasarkan ilmu arkeologi, zaman prasejarah atau sering juga disebut
sebagai Zaman Batu, dibagi menjadi tiga zaman, yaitu zaman paleolitikum (zaman batu tua), mesolitikum
(zaman batu tengah), dan neolotikum (zaman
batu baru).
Manusia paleolitikum
masih rendah sekali tingkat peradabannya. Hidupnya mengembara sebagai pemburu,
penangkap ikan dan pengumpul bahan-bahan makanan, seperti buah-buahan, jenis
ubi-ubian, dan bahan makanan lainnya atau istilahnya food gathering.
Zaman paleolitikum yang
merupakan bagian dari zaman pleistocen
(zaman es) dengan jenis manusianya Pitechantropus
Erectus kemudian mengalami perkembangan ketika es di kutub mencair,
sehingga permukaan air laut menjadi naik. Zaman ini disebut zaman Holocen. Pada zaman holocen kebudayaan paleolitikum
tidak begitu saja hilang tetapi mengalami perkembangan. Kebudayaan paleolitikum mendapat pengaruh-pengaruh
baru dengan mengalirnya arus kebudayaan dari daratan Asia yang membawa coraknya
sendiri. Kebudayaan itu disebut mesolitikum.
Gbr.1 Perubahan daratan pada zaman Paleolitikum akhir
(sumber : ZAMAN PRASEJARAH
INDONESIA « Langueschachspiel’s Weblog.htm)
Zaman mesolitikum (10.000-4000 tahun yang lalu) atau zaman batu
pertengahan merupakan zaman peralihan dari zaman paleolitikum ke zaman neolotikum.
Pada Zaman
batu tengah (mesolitikum) alat-alat batu zaman ini sebagian sudah
dihaluskan terutama bagian yang dipergunakan. Alat-alat dari tulang dan juga flakes, yang didapatkan di zaman paleolitikum, mengambil bagian penting
dalam zaman mesolitikum.
B.
Masyarakat Pendukung dan Lokasi Pemukiman
1.
Zaman Mesolitikum
Menurut penelitian para ahli
sejarah, manusia yang hidup pada zaman mesolitikum
adalah Ras Melanosoide. Ras Melanesia atau disebut
juga dengan Papua Melanosoide merupakan rumpun bangsa Melanosoide/Ras Negroid.
Bangsa ini merupakan gelombang pertama yang berimigrasi ke Indonesia dan
berasal dari daratan Asia tepatnya di Yunan Utara bergerak menuju ke Selatan
memasuki daerah Hindia Belakang (Vietnam)/Indochina dan terus ke Kepulauan
Indonesia. Bangsa Melanisia/Papua Melanosoide yang merupakan Ras Negroid memiliki
ciri-ciri antara lain kulit kehitam-hitaman, badan kekar, rambut keriting,
mulut lebar dan hidung mancung. Bangsa ini sampai sekarang masih terdapat
sisa-sisa keturunannya seperti Suku Sakai/Siak di Riau, dan suku-suku bangsa
Papua Melanosoide yang mendiami Pulau Irian dan pulau-pulau Melanesia.
Gbr 2.
Suku di Papua
(sumber :
http://sejarawan.wordpress.com/2007/10/05/)
Homo Sapiens
dari ras Papua Melanosoide yang hidup pada zaman mesolitikum hidup menetap, namun kadang juga masih berpindah-pindah
atau semi
nomaden. Mereka hidup menetap di gua-gua atau di pinggir
pantai,sehingga disebut juga dengan abris sous roche atau
Kjokkenmoddinger(sampah dapur). Abris sous roche adalah gua-gua yang
digunakan sebagai tempat tinggal dan perlindungan dari cuaca dan binatang buas.
a.
Kjokkenmoddinger
Suatu
corak istimewa dari zaman mesolitikum
ialah adanya peninggalan-peninggalan yang disebut dalam istilah Denmark “Kjokkenmoddinger” (kjokken = dapur, modding
= sampah). Sampah dapur ditemukan di sepanjang pantai Sumatera Timur Laut, di
antara Langsa di Aceh dan Medan, beberapa puluh kilometer dari laut sekarang,
tetapi dahulunya di tepi pantai karena garis pantai berubah-ubah.
Gbr.3 Kjokkenmoddinger(sampah
dapur) di daerah Kawal, Bintan, Kep. Riau
(sumber : http://teguhsrahardjo.blogdetik.com)
Bekas-bekas
itu menunjukkan telah adanya penduduk pantai yang tinggal di dalam rumah-rumah
bertonggak. Hidupnya terutama dari siput dan kerang. Siput-siput itu dipatahkan
ujungnya, kemudian dihisap isinya dari bagian kepalanya. Kulit-kulit siput dan
kerang yang dibuang itu selama waktu yang bertahun-tahun, mungkin ratusan atau
ribuan tahun, akhirnya membentuk bukit kerang yang tinggi. Bukit-bukit inilah
yang dinamakan kjokkenmoddinger.
Dari
kjokkenmoddinger ini ditemukan juga
bekas-bekas manusianya, seperti tulang belulang, dan pecahan-pecahan tengkorak
dan gigi. Meskipun tulang-tulang itu tidak memberikan gambaran yang lengkap,
namun penyelidikan yang teliti memberikan kesimpulan bahwa manusia mesolitikum itu termasuk dalam golongan
bangsa Papua Melanosoide (Nenek moyang bangsa Irian dan Melanesia sekarang).
b.
Abris
sous roche
Tempat
penemuan kedua dari kebudayaan mesolitikum
adalah abris sous roche, yaitu gua
yang dipakai sebagai tempat tinggal. Gua-gua ini sebenarnya menyerupai
ceruk-ceruk di dalam batu karang yang cukup untuk memberikan perlindungan
terhadap hujan dan panas. Di dalam dasar gua ini didapatkan banyak peninggalan
kebudayaan, dari jenis paleolitikum
sampai permulaan neolitikum, tetapi
sebagian besar dari zaman mesolitikum.
Penyelidikan
pertama terhadap abris sous roche
dilakukan oleh van Stein Callenfels di Gua Lawa dekat Sampung (Ponorogo,
Madiun), dari tahun 1928-1931. Alat-alat yang ditemukan banyak sekali macamnya
: alat-alat bantu, seperti ujung panah dan flakes,
batu-batu penggilingan, kapak-kapak yang sudah diasah, alat-alat dari tulang
dan tanduk rusa, dll.
Gbr.4
Jalur penyebaran kebudayaan Mesolitikum
(sumber : Pra
Sejarah (3) « sudartoyo putra muria.htm)
Pada zaman Mesolitikum terdapat 2 buah kebudayaan yang berbeda, yaitu kebudayaan Bacson Hoabinh dan kebudayaan flakes. Kebudayaan Bascon Hoabinh berasal dari Pegunungan Bacson dan Hoa Binh yang terletak di utara kota Hanoi di daerah Tongkin, Vietnam. Ciri artefak peninggalan kebudayaan ini adalah kapak yang bagian tajamnya telah diasah atau biasa disebut pebbles. Alur penyebaran kebudayaan Bascon Hoabinh melalui jalan Barat melalui Sumatera dan Malaysia. Itulah kenapa di abris sous roche di Sumatera banyak ditemukan pepples. Sedangkan kebudayaan flakes (serpihan batu yang tajam) masuk ke wilayah Nusantara melalui jalur Timur, bermula dari daratan Asia, Jepang, Filipina, dan ke Indonesia. Itu dibuktikan dengan banyak ditemukannya flakes di abris sous roche di Sulawesi. Kedua kebudayaan ini bertemu di Pulau jawa dan Sulawesi.
Gbr 5 Abris sous roche di Mendale, Medan
(sumber : http://teguhsrahardjo.blogdetik.com)
Gbr. 6 Abris sous roche di
Sulawesi Selatan
(sumber : http://teguhsrahardjo.blogdetik.com)
Gbr. 7
Pebbles
dan flakes
(sumber :
http://kaimanatourism.blogspot.com/2008/09/)
Artefak-artefak ini telah ditemukan juga di Gua Pawon, mikrolit-nya terbuat dari batu obsidian. Perkakas mikrolith dari obsidian ini banyak ditemukan di Jawa Barat (situs Ujung Berung, Nagreg, Cililin, Leuwi Liang-Bogor, Cikampek, dll). Melalui penemuan ini dapat disimpulkan bahwa kebudayaan Bacson-Hoa Binh terdapat di Jawa Barat pada zaman Mesolitikum, tetapi, baru di Gua Pawon-lah ditemukan manusianya.
Binatang-binatang purba besar seperti antilop, kudanil, dan badak yang hidup pada zaman Mesolitikum telah lama ditemukan fosil-fosilnya di endapan teras Sungai Citarum sebelah barat kota Cimahi. Maka, dengan penemuan rangka manusia di Gua Pawon yang berumur 9500-6500 tahun yang lalu, lengkaplah penemuan tinggalan zaman Mesolitikum di Jawa Barat (mungkin ini yang paling lengkap di Indonesia)- ada fosil binatang, manusia, dan artefaknya.
Temuan ras Mongoloid Mesolitikum di Gua Pawon sangat penting sebab selama ini ada anggapan bahwa zaman ini didominasi oleh ras Austro-Melanesoid. Ras ini diturunkan dari temuan fosil Homo wajakensis dan Homo soloensis yang dipercaya merupakan leluhur bangsa pribumi Australia. Tetapi, Homo soloensis dan Homo wajakensis hidup di zaman Paleolitikum akhir (35.000-15.000 tahun yang lalu). Gelombang migrasi dari Asia dengan ras Mongoloid sejak itu (sejak Mesolitikum) mendominasi sampai mendekati zaman sejarah. Migrasi manusia/bangsa Proto-Melayu dan Deutero-Melayu sejak 3000-500 SM menunjukkan hal ini.
Tabel 1 Tabel
perkembangan kebudayaan zaman batu
2.
Zaman Neolitikum
Sekitar tahun 2000 SM, bangsa Melanesoide
yang akhirnya menetap di Nusantara kedatangan pula bangsa yang kebudayaannya
lebih tinggi yang berasal dari rumpun
Melayu Austronesia yakni bangsa Melayu Tua atau Proto Melayu, suatu ras
mongoloid yang berasal dari daerah
Yunan, dekat lembah sungai Yang Tze, Cina Selatan. Alasan-alasan yang
menyebabkan bangsa Melayu tua meninggalkan asalnya yaitu :
1.
Adanya desakan suku-suku liar
yang datangnya dari Asia Tengah;
2.
Adanya peperangan antar suku;
3.
Adanya bencana alam berupa
banjir akibat sering meluapnya sungai She Kiang dan sungai-sungai lainnya di
daerah tersebut.
Suku-suku dari Asia tengah yakni Bangsa Aria
yang mendesak Bangsa Melayu Tua sudah pasti memiliki tingkat kebudayaan yang
lebih tinggi lagi. Bangsa Melayu Tua yang terdesak meninggalkan Yunan dan yang
tetap tinggal bercampur dengan Bangsa Aria dan Mongol. Dari artefak yang
ditemukan yang berasal dari bangsa ini yaitu kapak lonjong dan kapak persegi.
Kapak lonjong dan kapak persegi ini adalah
bagian dari kebudayaan Neolitikum. Ini berarti orang-orang Melayu Tua, telah
mengenal budaya bercocok tanam yang cukup maju dan bukan mustahil mereka sudah
beternak. Dengan demikian mereka telah dapat menghasilkan makanan sendiri (food
producing). Kemampuan ini membuat mereka dapat menetap secara lebih
permanen. Pola menetap ini mengharuskan mereka untuk mengembangkan berbagai
jenis kebudayaan awal. Mereka juga mulai membangun satu sistem
politik dan pengorganisasian untuk mengatur pemukiman mereka. Pengorganisasian
ini membuat mereka sanggup belajar membuat
peralatan rumah tangga dari tanah dan berbagai peralatan lain dengan lebih
baik. Mereka mengenal adanya sistim kepercayaan untuk membantu menjelaskan
gejala alam yang ada sehubungan dengan pertanian mereka. Sama seperti yang
terjadi terdahulu, pertemuan dua
peradaban yang berbeda kepentingan ini, mau tidak mau, melahirkan
peperangan-peperangan untuk memperebutkan
tanah. Dengan pengorganisiran yang lebih rapi dan peralatan yang lebih bermutu,
kaum pendatang dapat mengalahkan penduduk asli. Kebudayaan yang mereka usung
kemudian menggantikan kebudayaan penduduk asli. Sisa-sisa pengusung kebudayaan
Batu Tua kemudian menyingkir ke pedalaman. Beberapa suku bangsa merupakan
keturunan dari para pelarian ini, seperti suku Sakai, Kubu, dan Anak Dalam.
Gbr 7 Kapan persegi dan kapak lonjong
(sumber : http://jatheymuna.blogspot.com/)
Arus pendatang tidak hanya datang dalam
sekali saja. Pihak-pihak yang kalah dalam perebutan tanah di daerah asalnya
akan mencari tanah-tanah di wilayah lain. Demikian juga yang menimpa bangsa
Melayu Tua yang sudah mengenal bercocok tanam, beternak dan menetap. Kembali
lagi, daerah subur dengan aliran sungai atau mata air menjadi incaran. Wilayah yang sudah mulai ditempati oleh bangsa
melanesoide harus diperjuangkan untuk dipertahankan dari bangsa Melayu Tua.
Tuntutan budaya yang sudah menetap
mengharuskan mereka mencari tanah baru. Dengan modal kebudayaan yang lebih tinggi,
bangsa Melanesoide harus menerima kenyataan bahwa telah ada bangsa penguasa
baru yang menempati wilayah mereka. Namun
kedatangan bangsa Melayu Tua ini juga memungkinkan terjadinya percampuran darah
antara bangsa ini dengan bangsa Melanesia yang telah terlebih dahulu datang di
Nusantara. Bangsa Melanesia yang tidak bercampur terdesak dan mengasingkan diri
ke pedalaman.
Sisa keturunannya sekarang dapat didapati
orang-orang Sakai di Siak, Suku Kubu serta Anak Dalam di Jambi dan Sumatera
Selatan, orang Semang di pedalaman Malaya, orang Aeta di pedalaman Philipina,
orang-orang Papua Melanesoide di Irian dan pulau-pulau Melanesia. Pada
gelombang migrasi kedua dari Yunan di tahun 2000-300 SM, datanglah orang-orang
Melayu Tua yang telah bercampur dengan bangsa Aria di daratan Yunan. Mereka
disebut orang Melayu Muda atau Deutero Melayu dengan kebudayaan perunggunya.
Kebudayaan ini lebih tinggi lagi dari kebudayaan Batu Muda yang telah ada
karena telah mengenal logam sebagai alat
perkakas hidup dan alat produksi. Kedatangan bangsa Melayu Muda mengakibatkan
bangsa Melayu Tua yang tadinya hidup di sekitar aliran sungai dan pantai
terdesak pula ke pedalaman karena kebudayaannya kalah maju dari bangsa Melayu
Muda dan kebudayaannya tidak banyak berubah. Sisa-sisa keturunan bangsa melayu
tua banyak ditemukan di daerah pedalaman seperti suku Dayak, Toraja, orang Nias, batak
pedalaman, Orang Kubu dan orang Sasak. Dengan menguasai tanah, Bangsa Melayu
Muda dapat berkembang dengan pesat kebudayaannya bahkan menjadi penyumbang
terbesar untuk cikal-bakal bangsa Indonesia sekarang.
Tabel 2 Tabel penyebaran bangsa pendatang di Nusantara
C. Karya Seni
Awal dan Kajian Estetiknya
1.
Zaman Mesolitikum
Pada zaman mesolitikum
dihasilkan beberapa bentuk benda seni yang sebagian besar dibuat dari batu dan
digunakan dalam kehidupan sehari-hari, diantaranya :
a.
Pebble (kapak genggam)
Disebut
dengan kapak Sumatera karena kapak ini paling banyak ditemukan
lokasinya di pesisir timur Sumatera yaitu antara Langsa dan
Medan.
Para arkeolog menyebutnya dengan pebble. Terbuat dari batu kali yang dipecah atau dibelah. Sisi luarnya yang
sudah halus dibiarkan, sedangkan sisi dalamnya dikerjakan lebih lanjut, sesuai
kebutuhan.
Gbr 8 pebble
(sumber : http://history1978.wordpress.com/)
b.
Hache cource (kapak pendek)
Kapak ini adalah jenis kapak yang hanya ada di zaman mesolitikum. Bentuknya kira-kira
setengah lingkaran, dan seperti halnya kapak genggam dibuat dengan memecahkan
batu, dan tidak diasah. Bagian yang tajam terdapat pada sisi lengkung.
Gbr 9 Kapak
pendek
(sumber : http://history1978.wordpress.com/)
c.
Pipisan (batu-batu penggiling)
Di bukit-bukit kerang (kjjokenmoddinger)
ditemukan batu-batu penggiling beserta
landasannya. Pipisan ini ternyata tidak
hanya digunakan untuk menggiling makanan tetapi digunakan juga untuk
menghaluskan cat merah. Adapun kegunaan dari cat merah itu belum diteliti
secara pasti, tetapi ada kemungkinan pemakaiannya berhubungan dengan keagamaan/sihir, dimana merah merupakan darah
sebagai tanda dan sendi kehidupan. Cat merah diulaskan ke badan memiliki maksud agar bertambah kekuatan dan tenaga hidupnya.
d.
Flakes
Ada
juga ditemukan alat-alat lain berupa serpihan-serpihan yang disebut dengan
flakes,yang terbuat dari batu-batu biasa tetapi ada juga yang dari batu
berwarna/caldeson. Berbeda dengan kapak genggam, flakes ini berukuran lebih kecil dan tajam.
Peralatan
ini terutama ditemukan di sekitar daerah Sangiran, Pacitan, Ngandong(Jawa), Lahat(Sumatera),
Sumbawa, Sulawesi, dan Flores.
Flakes ini berfungsi untuk menguliti hewan buruan,mengiris
daging atau memotong umbi-umbian.Jadi fungsinya mirip dengan pisau sekarang.
Gbr. 10 Flakes
(sumber : http://wacananusantara.org/)
e.
Sampung Bone Culture
Sampung Bone Culture merupakan istilah dari benda-benda yang terbuat dari
tulang hewan. Diberi nama Sampung Bone
Culture karena pertama kali ditemukan di Gua Lawa, Sampung, Ponorogo.
Benda-benda dari tulang ini juga ditemukan di gua Besuki, Bojonegoro(Jawa Timur), pulau Timor dan Rote, dan di gua Leang Patae, Lomoncong, Sulawesi Selatan yang
pendukungnya adalah suku Toala yang sampai sekarang masih ada.
Alat-alat dari tulang ini digunakan untuk
berburu, tidak sedikit yang digunakan sebagai mata anak panah.
Gbr 11 Alat-alat dari tulang
(sumber : http://history1978.wordpress.com/)
f.
Lukisan Dinding Batu
Lukisan
dinding zaman mesolitikum ini
ditemukan di di sekitar Teluk
Triton dan Teluk Bisyari, Distrik/Kecamatan Kaimana atau di sekitar Kampung
Maimai, Sisir, dan Namatota. Lukisan-likisan ini masih menyimpan misteri dan
keunikan yang seakan menceritakan suatu jaman dengan suatu kehidupan tertentu. Daya tarik Kaimana Rock Painting ini terletak pada
letak dan bahan pewarna yang digunakan. Letak lukisan-lukisan ini terdapat pada
tebing-tebing batu yang tinggi dan secara akal sehat manusia tidak mungkin
dijangkau-apalagi teknologi jaman itu. Bahan cat atau pewarna yang digunakan
hingga kini masih misteri, umumnya lukisan-lukisan ini berwarna merah darah dan
hingga hari ini tak pudar dimakan jaman.
Lukisan dinding di Kaimana memiliki
keunikan tersendiri dan berbeda dengan lukisan dinding yang terdapat di Kokas
dan Raja Ampat, terutama dari segi kekayaan motifnya. Jika di Kokas dan Raja
Ampat umumnya bermotif tapak tangan (finger-print),
di Kaimana bukan saja finger print tapi ada lukisan ikan, binatang, tengkorak,
matahari.
Gbr 12 Kaimana Rock Painting
(sumber : httpkaimanatourism.blogspot.com/)
2.
Zaman Neolitikum
a.
Kapak Persegi
Nama
kapak persegi diberikan oleh Van
Hein Heldren atas dasar
penampang lintangnya yang berbentuk persegi panjang atau trapesium,ada yang
berukuran besar yang lazim disebut beliung persegi yang fungsinya
sebagia cangkul/pacul, dan yang ukuran kecil disebut dengan tarah/tatah yang
berfungsi sebagai alat pahat. Bahan bakunya selain dari batu biasa juga dari
batu api/chalcedon. Kemungkinan yang terbuat dari batu chalcedon ini sebagai
alat upacara suci, tanda kebesaran atau
jimat.Daerah penyebaran asal kapak persegi ini dari jalur barat/Asia,yang
menyebar ke pulau Sumatera, Jawa, Bali,Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.
Gbr. 13
Kapak Persegi
(sumber : http://wacananusantara.org/)
b.
Kapak Lonjong
Sedang yang di Indonesia
timur (jalur timur) menyebar kapak yang penampang melintangnya berbentuk
lonjong, yang disebut dengan kapak
lonjong. Bahan kapak lonjong dari batu kali berwarna kehitam-hitaman, bentuk
keseluruhannya adalah bulat telur dengan ujungnya yang lancip sebagai tempat
tangkainya, sedang ujung yang lainnya diasah sampai tajam, permukaannya halus
merata. Yang berukuran besar disebut sebagai Walzenbeil, sedang yang kecil
disebut dengan Kleinbeil. Fungsinya sama dengan kapak persegi. Daerah
penyebarannya di Minahasa, Gerong, Leti, Seram, Tanimbar dan Irian. Dari Irian kapak lonjong ini
akhirnya menyebar sampai ke kepulauan Melanesia, sehingga sering disebut dengan Neolithikum Papua.
Gbr. 14
Kapak Lonjong
(sumber : http://wacananusantara.org/)
c. Kapak
Bertangkai
Apabila
pada zaman Paleolitikum penggunaan kapak dari batu ini langsung dipenggang
dengan menggunakan tangan, tampa menggunakan alat bantu lain, lain halnya dengan
zaman Neolitikum. Mereka pada masa itu sudah mengenal tangkai sebagai bahan
yang digunakan untuk mengikat kapak dan digunakan sebagai pegangan. Cara
memasangkan mata kapak pada tangkai ialah dengan memasukkan bendanya langsung
dalam lubang yang khusus dibuat pada ujung tangkai atau memasangkan mata kapak
pada gagang tambahan yang kemudian diikatkan menyiku pada gagang pokoknya. Pada
kedua cara ini, mata kapak dipasangkan vertikal.
Penambahan
alat dalam menggunakan kapak dari batu ini merupakan sebuah inovasi yang mampu
dikembangkan oleh manusia pada zaman prasejarah. Mereka terus berinovasi untuk
menghasilkan yang lebih baik dan efisien, termasuk kenyamanan dalam
menggunakannya. Tangkai kapak atau gagang kemungkinan berbahan dasar dari kayu
dan sejenisnya. Kayu-kayu tersebut mereka bentuk sedemikian rupa sehingga mudah
untuk memasang mata kapak atau kapak lonjong dan mudah dalam memegangnya.
Gbr. 15
Kapak bertangkai
(sumber : http://wacananusantara.org/)
d. Gerabah
Selain
kapak persegi dan lonjong juga terdapat barang-barang gerabah/belanga, perhiasan, dan pakaian. Gerabah pembuatannya masih
sederhana, tidak dengan roda pemutar, hanya dengan tangan. Perhiasan terbuat
dari batu-batu berwarna, permata, dan kerang.
Gbr. 16
Pecahan gerabah pada zaman neolitikum
(sumber : http://teguhsrahardjo.blogdetik.com)
BAB II
KESIMPULAN
Zaman mesolitikum dan neolitikum merupakan fase yang penting dalam
perkembangan sejarah kehidupan di Nusantara. Pada fase ini berkembang beberapa
bentuk kebudayaan yang lebih maju dibandingkan zaman sebelumnya (paleolitikum).
Salah satu perkembangannya adalah pola hidup, dimana manusia pada zaman
mesolitikum sudah mulai hidup menetap, meskipun terkadang masih
berpindah-pindah untuk mencari lahan yang baru. Salah satu buktinya adalah
ditemukannya sampah dapur (kjokkennmoddinger)
yang berupa tumpukan kulit kerang. Manusia pada zaman neolitikum malah sudah
bisa bercocok tanam dan hidup bermasyarakat.
Di lihat dari aspek penyebarannya, manusia prasejarah pada jaman
Mesolitikum dan neolitikum merupakan bangsa pendatang. Sebagian besar dating
dari daratan Asia menggunakan jalur Barat dan jalur Timur. Ras papua
Melanosoide, Austro-Melanosoid, Proto Melayu, Deutro Melayu merupakan
bangsa-bangsa pendatang yang masuk ke wilayah Nusantara karena beberapa factor,
diantaranya perubahan iklim, geografis, dan adanya peperangan.
Dalam bidang hasil kebudayaan berupa benda-benda peninggalan
sangatlah beragam. Sebagian besar benda-benda yang dibuat berfungsi sebagai
alat bantu dalam kehidupan sehari-hari. Benda-benda tersebut juga mengalami
perkembangan, dimulai dari kapak genggam, flakes,
kapak persegi, sampai kapak lonjong yang sudah dihaluskan.
Perubahan-perubahan tersebut memberikan gambaran bahwa manusia
terus hidup berkembang, menggunakan akalnya untuk menemukan hal-hal yang baru.
Mempelajari dan menganalisis perkembangan manusia pada zaman prasejarah
sangatlah penting untuk memberikan kesadaran kepada kita akan pentingnya
menjaga keseimbangan alam.
2 comments:
sayang banget gambarnya gak bisa kebuka ya :( infonya menolong banget buat tugasku makasih ya :)
sip, nambah ilmu kuat tahan lama
Post a Comment