BAB
I
KESENIAN
ZAMAN MEGALITIKUM
A.
Latar
Belakang Pertumbuhan
Kebudayaan
Megalithikum bukanlah suatu zaman yang berkembang tersendiri, melainkan suatu
hasil budaya yang timbul pada zaman Neolitikum akhir dan berkembang pesat pada
zaman Perunggu. Megalith adalah batu besar yang digunakan untuk membangun
struktur atau monumen. Megalitik adalah struktur yang dibuat oleh batu besar.
Megalith berasal dari kata dalam bahasa Yunani
megas yang artinya besar, dan lithos yang artinya batu. Dari
pengertian tersebut dapat dijelaskan bahwa kebudayaan Megalithikum adalah
kebudayaan manusia pra sejarah yang menghasilkan bangunan-bangunan dari batu
besar.
Zaman
Megalitikum biasa disebut dengan zaman batu besar, karena pada zaman ini
manusia sudah dapat membuat dan meningkatkan kebudayaan yang terbuat dari
batu-batu besar. Kebudayaan ini berkembang dari zaman Neolitikum sampai zaman
Perunggu. Kebudayaan Megalitikum/kebudayaan batu-batu besar di Indonesia,
ditandai oleh pendirian artefak seperti menhir, dolmen, punden berundak-undak,
peti mati batu (sarkofagus), waruga, dan arca.
Menurut Von Heine Geldern, kebudayaan Megalithikum menyebar
ke Indonesia melalui dua gelombang yaitu :
1. Megalith Tua menyebar ke Indonesia
pada zaman Neolithikum (2500-1500 SM) dibawa oleh pendukung Kebudayaan Kapak
Persegi (Proto Melayu). Contoh bangunan Megalithikum adalah menhir, punden
berundak-undak, Arca-arca Statis.
2. Megalith Muda menyebar ke Indonesia
pada zaman perunggu (1000-100 SM) dibawa oleh pendukung Kebudayaan Dongson
(Deutro Melayu). Contoh bangunan megalithnya adalah peti kubur batu, dolmen,
waruga Sarkofagus dan arca-arca dinamis.
B.
Corak
Kehidupan Masyarakat Zaman Megalithikum
Masyarakat
pada zaman Megalithikum memiliki
ciri-ciri kebudayaan yang meningkat jika dibandingkan dengan kebudayaan
sebelumnya. Hal tersebut ditandai dengan pola kehidupan masyarakat yang sudah
mengenal kepercayaan, walaupun kepercayaan mereka masih dalam tingkat awal,
yaitu kepercayaan terhadap roh nenek moyang. Kepercayaan ini muncul karena
pengetahuan manusia pada zaman ini sudah mulai meningkat. Manusia mulai percaya
bahwa orang yang meninggal, rohnya akan pergi ke suatu tempat dan sewaktu-waktu
roh itu dapat dipanggil untuk memberikan pertolongan.
1.
Kebudayaan
pada Zaman Megalithikum
R.P. Soejono mengatakan, “di Indonesia
tradisi megalithik muncul setelah tradisi bercocok-tanam atau bertani food-froducing
mulai meluas, diperkirakan sejak zaman Neolitikum sampai dengan zaman Logam
– Perunggu”.
Manusia pendukung budaya megalitik sudah
mengenal dan bahkan sudah memanfaatkan alat kerja yang terbuat dari bahan
logam. Mereka sudah memiliki kemampuan yang sangat baik dalam memahat batu-batu
besar dengan sudut-sudut yang tajam atau runcing, dan secara bentuk
patung-patung itu tampak sudah memiliki garis-garis kontur yang begitu dinamis.
Untuk dapat menghasilkan artefak-artefak
patung seperti itu tentunya membutuhkan mata pahat yang bukan sekedar terbuat
dari batu api saja, namun menggunakan pahat bermata logam yang sangat
memungkinkan untuk itu. Namun bila dilihat dari sifat, bentuk, dan termasuk
perkiraan fungsinya, artefak-artefak megalithik memperlihatkan adanya
kelanjutan dari budaya sebelumnya yakni zaman Batu Baru.
Ciri-ciri
kebudayaan pada zaman Megalithikum, ditandai oleh adanya konsep pemikiran manusia
tentang kehidupan sesudah mati dan pemujaan terhadap roh nenek moyang, selain
itu juga budaya manusia yang menggunakan benda-benda atau peralatan sebagai
bekal kubur bersama jenasah dalam kubur batu (sarkofagus).
Konsep
tentang kekuatan sakti (terletak di kepala) menyebabkan adanya adat pengayauan
(kepercayaan menghormati leluhur dengan tradisi kuburan tempayan) yang merupakan ciri umum kebiasaan dari masyarakat
Megalithikum. Pada zaman ini terdapat upacara kematian yang kompleks dan
hubungan antara manusia di dunia roh. Pada upacara tersebut roh diangkat ke
posisi tinggi di akhirat, sehingga dapat turun bersama keturunannya untuk
menolong dan memberi berkah pada mereka.
2.
Kepercayaan
di Zaman Megalithikum
Jauh
sebelum lahirnya agama-agama besar di dunia seperti Hindu, Buddha, Kristen, dan
Islam, masyarakat pada zaman Megalithikum mengembangkan pengetahuan budaya
mereka tentang tokoh-tokoh yang dipuja, kepada siapa mereka tunduk dan mohon
pertolongan. Kepercayaan masyarakat pada masa ini diwujudkan dalam berbagai
upacara tradisi Megalithikum/upacara-upacara keagamaan, persembahan kepada dewa
dan upacara penguburan mayat yang dibekali dengan benda milik pribadi ke
kuburnya.
Kepercayaan
tentang roh, dunia roh, kehidupan sesudah mati, kekuatan dan tokoh-tokoh
supernatural serta penghormatan dan ketundukan kepada mereka diwujudkan dalam bentuk
pendirian objek-objek pemujaan, seperti menhir, punden berundak-undak, sarkofagus,
waruga, dan sebagainya.
3.
Daerah
Pendukung Kebudayaan Megalithikum di Indonesia
Di Indonesia, terdapat beberapa daerah
yang masih memiliki unsur-unsur megalitik yang dipertahankan hingga sekarang. Banyak ditemukan artefak purba peninggalan
budaya Megalithikum (Batu Besar), seperti: Patung Batu, Kubur Batu, Lukisan
Dinding Kubur Batu, Batu Bergores, Dolmen, Lumpang Batu, Menhir, dan lain
sebagainya. Wilayah sebar budaya Megalitikum Indonesia ditemukan di beberapa
tempat diantaranya: Sumatra, Nias, Jawa, Bali, Sumba, Sulawesi, dan lain-lain.
Salah satu daerah
pendukung kebudayaan Megalithikum di Indonesia terletak di Pasemah, yang merupakan
wilayah dari Propinsi Sumatera Selatan, berada di kaki Gunung Dempo.
Peninggalan megalitik
di wilayah tersebut tersebar sebanyak 19 situs, berdasarkan penelitian yang di
lakukan oleh Budi Wiyana, dari Balai Arkeologi
Palembang. Peninggalan megalitik Pasemah
muncul dalam bentuk yang begitu unik, patung-patung dipahat dengan begitu
dinamis dan monumental, yang mencirikan kebebasan sang seniman dalam memahat
sehingga disebut oleh ahli arkeologi
sebagai Budaya Megalitik Pasemah.
Di daerah Nias, masih terdapat rangkaian
kegiatan mendirikan batu besar (dolmen) untuk memperingati kematian seorang
penting di Nias (awal abad ke-20). Kebudayaan etnik Nias masih menerapkan
beberapa elemen megalitik dalam kehidupannya. Lompat batu dan kubur batu masih
memperlihatkan elemen-elemen megalitik. Demikian pula ditemukan batu besar
sebagai tempat untuk memecahkan perselisihan.
Sementara
etnik Sumba di Nusa Tenggara Timur juga masih kental menerapkan beberapa elemen
megalitik dalam kegiatan sehari-hari. Kubur batu masih ditemukan di sejumlah
perkampungan. Meja batu juga dipakai sebagai tempat pertemuan adat.
C. Benda-benda Seni Hasil
Peninggalan Zaman Megatilthikum dan Kajian Estetiknya
Terdapat
beberapa hasil kebudayaan zaman Megalithikum, yang dibuktikan dengan adanya
penemuan bangunan batu besar seperti menhir, punden berundak-undak, dolmen, kuburan
batu, sarkofagus, arca dan banyak juga ditemukan manik-manik, serta alat-alat yang
terbuat dari perunggu dan besi. Hasil kebudayaan megalithikum biasanya tidak
dikerjakan secara halus, tetapi hanya diratakan secara kasar dan terutama hanya
untuk mendapatkan bentuk yang diperlukan. Peninggalan-peninggalan zaman
Megalitikum banyak ditemukan di wilayah Indonesia, terutama di daerah Sumatera, Jawa, dan Bali. Peninggalan kebudayaan pada
zaman Megalitikum di Sumatera terdapat di dataran tinggi Pasemah, Nias,
Basemah, Samosir, Sumba, dan Flores.
Peninggalan
zaman Megalitikum di daerah Jawa Timur, terdapat di daerah Besuki,
peninggalan-peninggalan tersebut berupa kuburan yang oleh penduduk setempat
disebut pandhusa (dolmen yang berisi kubur batu di bawahnya). Peninggalan zaman
Megalitikum yang ditemukan di daerah Wonosari (Yogyakarta), Cupu, dan Cirebon
ditandai dengan ditemukannya kubur-kubur batu yang berisi kerangka manusia,
alat-alat perunggu dan besi, dan manik-manik. Di daerah Bali juga ditemukan
sarkofagus yang menyerupai peti-peti dari daerah Besuki yang isinya adalah
tulang-belulang manusia, barang-barang perunggu, besi, dan manik-manik.
Peninggalan
kebudayaan megalithikum ternyata masih dapat diihat sampai sekarang, karena
pada beberapa suku-suku bangsa di Indonesia masih memanfaatkan kebudayaan
megalithikum tersebut. Berikut adalah beberapa peninggalan benda-benda seni
pada zaman Megalithikum.
1.
Menhir
Menhir
berasal dari bahasa Breton yaitu “men”, yang berarti batu dan “hir”, berarti
berdiri. Menhir berarti batu tegak atau batu berdiri. Batasan selanjutnya
menhir ialah batu panjang yang didirikan secara tegak, berfungsi sebagai batu
peringatan dalam hubungannya dengan pemujaan arwah nenek moyang atau arwah
leluhur, sehingga bentuk menhir ada yang berdiri tunggal dan ada yang
berkelompok serta ada pula yang dibuat bersama bangunan lain yaitu seperti
punden berundak-undak. Lokasi tempat ditemukannya menhir di Indonesia adalah
Pasemah (Sumatera Selatan), Sulawesi Tengah dan Kalimantan. Untuk mengetahui
bentuk-bentuk menhir, maka simaklah gambar-gambar berikut ini.
Gambar
: Menhir
Sedangkan arca menhir merupakan bentuk yang
lebih maju dari menhir. Arca menhir merupakan batu tegak yang telah dibentuk
karakter-karakter sederhana semisal sosok manusia, biasanya dengan penggambaran
yang masih kasar atau primitif. Arca menhir ini terdiri dari kepala dan badan,
dan umumnya tanpa dilengkapi bagian kaki. Sebagian digambarkan dalam posisi
berdiri dan sebagian lagi dalam posisi duduk. Yang tampak menonjol adalah
penggambaran alat kelamin atau phallus.
Dominasi penggambaran alat kelamin ini
merupakan lambang kejantanan serta penolak bala. Pada umumnya arca menhir
memiliki bentuk yang kurang proporsional. Gaya seperti itu semata-mata
berkaitan dengan karya seni yang bersifat religius magis. Sedangkan arca menhir
dengan bentuk yang lebih detail menggambarkan sosok manusia lengkap dengan
kepala, badan, dan tangan (terkadang juga terdapat kaki). Karakter ini biasanya
digambarkan lengkap dengan mata, hidung, mulut, telinga, serta atribut berupa
tutup kepala, anting, kalung, dan gelang, serta sebentuk senjata di dadanya.
Menhir pada umumnya dibuat dari batu utuh yang dikerjakan dengan teknik menatah
secara kasar.
Gambar
: Arca Menhir (Antrophomofis)
2.
Punden Berundak-undak
Punden
berundak-undak adalah bangunan dari batu yang bertingkat-tingkat dan fungsinya
sebagai tempat pemujaan terhadap roh nenek moyang yang telah meninggal.
Bangunan tersebut dianggap sebagai bangunan yang suci, dan lokasi tempat
penemuannya adalah Lebak Sibedug/Banten Selatan dan Lereng Bukit Hyang di Jawa
Timur, sedangkan mengenai bentuk dari punden berundak dapat diamati
gambar-gambar berikut ini.
Gambar
: Punden Berundak-undak dari Lebak Sibedug
(Sumber:
Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1, Hal. 76)
3. Dolmen
Dolmen
merupakan meja dari batu yang berfungsi sebagai tempat meletakkan saji-sajian
untuk pemujaan. Adakalanya di bawah dolmen dipakai untuk meletakkan mayat, agar
mayat tersebut tidak dapat dimakan oleh binatang buas maka kaki mejanya
diperbanyak sampai mayat tertutup rapat oleh batu. Dengan demikian dolmen yang
berfungsi sebagai tempat menyimpan mayat disebut dengan kuburan batu. Lokasi
penemuan dolmen antara lain Cupari Kuningan/Jawa Barat, Bondowoso/Jawa Timur,
Merawan, Jember/Jatim, Pasemah/Sumatera, dan Nusa Tenggara Timur.Untuk
mengetahui bentuk Dolmen, amati gambar berikut ini.
Gambar
: Dolmen
Bagi
masyarakat Jawa Timur, dolmen yang di bawahnya digunakan sebagai kuburan/tempat
menyimpan mayat lebih dikenal dengan sebutan Pandhusa atau makam Cina.
4. Sarkofagus
Sarkofagus
adalah keranda batu atau peti mayat yang terbuat dari batu. Bentuknya
menyerupai lesung dari batu utuh yang diberi tutup. Dari Sarkofagus yang
ditemukan umumnya di dalamnya terdapat mayat dan bekal kubur berupa periuk,
kapak persegi, perhiasan dan benda-benda dari perunggu serta besi. Daerah
tempat ditemukannya sarkofagus adalah Bali. Menurut masyarakat Bali Sarkofagus
memiliki kekuatan magis/gaib. Berdasarkan pendapat para ahli bahwa sarkofagus
dikenal masyarakat Bali sejak zaman logam. Untuk memperjelas pemahaman tentang
Sarkofagus, maka amatilah gambar berikut ini.
Gambar : Sarkofagus
Gambar: Sebuah Keranda Batu Berisi
Kerangka Manusia
(Sumber: Pengantar Sejarah Kebudayaan
Indonesia 1, Hal. 73)
5.
Peti kubur
Peti kubur
adalah peti mayat yang terbuat dari batu-batu besar. Kubur batu dibuat dari
lempengan/papan batu yang disusun persegi empat berbentuk peti mayat yang
dilengkapi dengan alas dan bidang atasnya juga berasal dari papan batu. Daerah
penemuan peti kubur adalah Cepari Kuningan, Cirebon (Jawa Barat), Wonosari
(Yogyakarta) dan Cepu (Jawa Timur). Di dalam kubur batu tersebut juga ditemukan
rangka manusia yang sudah rusak, alat-alat perunggu dan besi serta manik-manik.
Dari penjelasan tentang peti kubur, tentu Anda dapat mengetahui persamaan
antara peti kubur dengan sarkofagus, dimana keduanya merupakan tempat menyimpan
mayat yang disertai bekal kuburnya. Tetapi untuk dapat mencari perbedaan antara
keduanya, amati gambar berikut ini.
Gambar : Peti kubur
(Sumber: Pengantar Sejarah Kebudayaan
Indonesia 1, Hal. 74 dan
6. Arca batu
Arca/patung-patung
dari batu yang berbentuk binatang atau manusia. Bentuk binatang yang
digambarkan adalah gajah, kerbau, harimau dan moyet. Sedangkan bentuk arca
manusia yang ditemukan bersifat dinamis. Maksudnya, wujudnya manusia dengan
penampilan yang dinamis seperti arca batu gajah. Arca batu gajah adalah patung
besar dengan gambaran seseorang yang sedang menunggang binatang yang diburu.
Arca tersebut ditemukan di daerah Pasemah, (Sumatera Selatan). Daerah-daerah lain sebagai
tempat penemuan arca batu antara lain Lampung, Jawa Tengah dan Jawa Timur.Untuk
mengetahui bentuk Arca batu gajah dapat melihat gambar berikut ini.
Gambar : Arca Batu Gajah dari Pasemah.
(Sumber: Pengantar Sejarah Kebudayaan
Indonesia 1, Hal. 77)
Perhatikanlah
gambar Arca Batu Gajah dari Pasemah tersebut, karena dari gambar tersebut
terdapat gambar nekara kecil yang diikat di punggung. Temuan batu gajah tersebut
dapat membatu usaha penentuan umur secara relatif dengan gambar nekara itu
sebagai petunjuk yang kuat, selain petunjuk-petunjuk lain seperti pedang yang
mirip dengan belati Dong Son (Kherti, 1953: 30), serta benda-benda hasil
penggalian yang berupa perunggu (besemah, gangse) dan manik-manik. Dari
petunjuk-petunjuk di atas, para ahli berkesimpulan bahwa budaya megalitik di
Sumatera Selatan, berlangsung pada masa perundagian. Pada masa ini, teknik
pembuatan benda logam mulai berkembang.
Penelitian
terhadap Kebudayaan Megalithikum di dataran tinggi Pasemah/Sumatera Selatan
dilakukan oleh Dr. Van Der Hoep dan Van Heine Geldern. Dari hasil penelitian
tersebut disimpulkan bahwa Kebudayaan Perunggu mempengaruhi Kebudayaan
Megalithikum atau dengan kata lain Kebudayaan Megalithikum merupakan cabang
dari Kebudayaan Dongson (Perunggu). Kesimpulan ini dibuat karena di Pasemah
banyak ditemukan peninggalan budaya Megalith dan budaya perunggu, seperti
patung/arca prajurit dengan topi logam/helm yang mengendarai kerbau atau gajah.
Prajurit tersebut juga membawa nekara kecil pada panggungnya.Demikianlah uraian
materi tentang contoh-contoh peninggalan megalithikum yang berkembang pada
zaman prasejarah.Untuk memudahkan memahami uraian Kebudayaan Megalithikum maka
dapat melihat ikhtisar dari Kebudayaan Megalithikum seperti pada tabel di bawah
ini.
Tabel
: Ikhtisar Kebudayaan Megalithikum
Terdapat
beberapa hasil peninggalan benda-benda seni pada peradaban Megalithik yang
dapat dijumpai di beberapa daerah di Indonesia seperti di desa Muak Kab.
Kerinci, antara lain: Batu Berelief, Batu Patah, Batu Gong yang kesemuanya itu terletak dalam kawasan
permukiman warga Muak. Selain itu juga terdapat peninggalan benda seni berupa
patung batu raksasa yang dapat di jumpai di Bada, Sulawesi Selatan.
7.
Batu Berelief
Batu Berelief atau lebih dikenal
dengan Batu berlukis ini berada tepat disebelah Kantor Kepala Desa Muak yang
berada tepat ditengah-tengah permukiman warga desa. Batu ini terlihat kurang
sekali perawatan sehingga dikhawatirkan akan mengalami kerusakan. Di lain hal,
desa yang kaya akan sumber daya alam dan peninggalan pra sejarah ini kondisinya tidak sebaik
desa-desa lain yang kita jumpai di Kab. Kerinci. Hal ini dilihat dari pasokan
listrik yang tidak terjangkau sampai ke desa, ketersedian air bersih yang belum
diperoleh, serta fasilitas pelayanan kesehatan yang tidak ada dari Pemkab
setempat.
Gambar: Batu Berelief
8. Batu Patah
Peninggalan purbakala ini hampir
keseluruhannya terletak di tepi jalan besar desa yang ramai karena merupakan
jalur lintas propinsi. Batu Patah ini selain berada di tepi jalan propinsi juga
terletak di tengah-tengah ladang desa, sehingga mudah disentuh oleh
tangan-tangan jahil yang tidak bertanggung jawab yang dapat merusak peninggalan
prasejarah ini.
Gambar: Batu Patah
9. Batu Gong
Batu Gong merupakan batu ketiga peninggalan prasejarah yang dapat kita temui
dengan menelusuri jalan sejauh 5 km dari keberadaan Batu Patah di Muak. Batu
yang mirip dengan gong yang besar ini berdiameter ± 1,5 m dengan panjang ± 3 meter.
Di Batu ini pun dapat kita temui ukiran-ukiran baik binatang maupun manusia
yang hidup pada masa itu.
Gambar: Batu Gong
10. Patung
Raksasa dari Batu
Seorang ilmuwan bernama Kaudren, menemukan patung-patung batu
besar yang unik dalam gaya yang sangat khas. Patung tersebut ditemukan di Bada,
dengan tinggi 14,5 kaki (kurang lebih 3 meter). Masa yang semisilinderikal dari
badan di atasnya adalah wajah tanpa dagu yang bundar dengan bulatan-bulatan
untuk mata, ujung-ujung tajam menggambarkan hidung datar yang lebar, dan cabang
yang ke atas mengarah ke lengkung-lengkung tertentu yang tajam dan sama dari
alis. Yang diperhatikan dengan relief rendah pada tubuh adalah lengan-lengan
pendek dan kurus dengan tangan melengkung mengarah kelamin pria yang berdiri
pada perut. Konon alat kelamin pria tersebut dipercaya oleh masyarakat
megalithikum sebagai lambang kesuburan.
Gambar: Patung Raksasa dari Batu di Bada,
Sulawesi Selatan
BAB II
KESIMPULAN
Zaman
Megalitikum merupakan fase ketiga dari perkembangan zaman batu dalam kebudayaan
pra sejarah di Indonesia. Zaman Megalithikum biasa disebut dengan zaman batu
besar, karena pada zaman ini manusia sudah dapat membuat dan meningkatkan
kebudayaan menciptakan benda-benda mistis yang terbuat dan batu-batu besar.
Kebudayaan ini berkembang dari zaman Neolitikum sampai zaman Perunggu.
Pada zaman ini
manusia sudah mengenal kepercayaan. yaitu kepercayaan terhadap roh nenek
moyang, selain itu pada zaman ini, manusia mulai percaya akan adanya alam lain setelah
kematian, seperti kepercayaan bahwa orang yang meninggal, rohnya akan pergi ke
suatu tempat dan sewaktu-waktu roh itu dapat dipanggil untuk memberikan
pertolongan. Bukti nyata dari munculnya kepercayaan yang bersifat mistis
tersebut, ialah munculnya peninggalan benda-benda bersejarah seperti menhir,
punden berundak-undak, dolmen, sarkofagus, peti kubur, dan sebagainya yang
terbuat dari batu-batu besar, yang digunakan sebagai tempat pemujaan dan tempat
untuk menyimpan jasad manusia.
Peninggalan
benda-benda tersebut, banyak ditemukan di wilayah Indonesia, terutama pada
daerah Jawa, Sumatera, dan Bali, yaitu di daerah Bondowoso (Jawa Timur), Bali, Cepari Kuningan,
Cirebon (Jawa Barat), Wonosari (Yogyakarta) dan Cepu (Jawa Timur), dan
sebagainya. Beberapa peninggalan tersebut berupa batu-batu besar seperti Batu
Relief, Batu Patah, Batu Gong, dan Patung Batu Raksasa yang terdapat di Bada,
Sulawesi Selatan. Adapun daerah pendukung yang paling banyak memiliki
benda-benda peninggalan dari kebudayaan Megalithikum ini berada di daerah
Pasemah (Sumatera Selatan).
Perubahan demi perubahan
yang terjadi pada zaman batu tua hingga zaman batu muda tersebut memberikan
gambaran bahwa manusia terus hidup berkembang, menggunakan akalnya untuk
menemukan hal-hal yang baru. Hal tersebut berpengaruh pada perkembangan pola
pikir dan kebudayaan masyarakat Indonesia hingga zaman sekarang ini.
0 comments:
Post a Comment